Zeyya termangu melihat Rian berdiri di depan pagar yang masih terkunci sewaktu ia bersiap mengantar Zalina ke sekolah, pria itu melambai sambil tersenyum. Tampan dan rapi tentu saja, kemeja nya tersembunyi dibalik jaket yang digunakan.
"Halo Zalin."
Yang disapa sudah lebih dulu berlari dan membukakan pintu pagar untuk Rian.
"Halo kak Rian," si kecil tak kalah memberi cengiran. "Kakak Rian tumben datang pagi, aku sama Kakak Mama mau pergi ke sekolah," katanya.
"Sengaja, pengen nganter Zalin ke sekolah juga. Naik motor bareng mau?"
Rian memiliki trik jitu yang sekiranya dia akan sulit tertolak, Zalina menyukai mengendarai motor bersamanya. Lihat saja gadis kecil itu sempat melompat ringan dan melirik ke belakang, melihat respons sang kakak.
Zeyya tengah memperbaiki letak kacamatanya sambil mendekat dan menempati sisi Zalina.
"Kebiasaan kalo datang nggak bilang dulu," keluhnya.
Sebuah kebiasaan Rian yang tak pernah berubah.
"Gue udah bilang tadi pagi."
"Kapan?"
Zeyya tidak merasa diberitahu sampai dia teringat dengan telepon yang masih terhubung sampai subuh, Rian memanggil-manggil namanya sampai ia terbangun, pria itu berucap, "kita ketemu nanti."
Hanya itu. Dia pikir mereka akan bertemu di kediaman Janardana seperti biasanya.
"Oh," desahnya setelah teringat.
"Hari ini lo tumben pake kacamata," singgung Rian menatap lekat wajah Zeyya.
Tanpa sadar Zeyya menyentuh frame yang terpasang di atas hidungnya.
"Mata lagi nggak enak dipake in softlens, perih."
"Iritasi?"
"Kayaknya sih."
"Sementara jangan pake softlens dulu," Rian memperingati.
Itu hanya larangan biasa yang terdengar istimewa dalam pendengaran Zeyya, kapan terakhir kali dia merasa diperhatikan seperti ini?
"Lo pake kacamata tetep cantik," lanjutnya setelah jeda singkat.
Komentar frontal itu mendapat reaksi menyenangkan dari Zalina, dia senang Kakaknya disebut cantik, yang bermakna sederhana baginya; positif dan baik.
"Kakak Mama memang cantiiiikkkkk banget!"
Berbeda dengan Zalina, Zeyya merasa wajahnya memerah malu.
"Makanya aku juga cantik," tambah Zalina tak kalah percaya diri.
Rian tersenyum dan mengusap rambut Zalina dengan lembut, "iya, Zalin cantik mirip Kakak Mama, sekarang, kita ke sekolah, yuk! Biar nggak telat." Ajakannya segera diterima, Rian mengangkat pandangan ke arah Zeyya mengharap jawaban. "Gue sekalian ke kediaman sebelum ke kantor. Kita barengan aja, hemat bensin. Mau, kan?"
Mendesah ringan menyembunyikan kesenangan yang melilit perut, Zeyya mengiakan.
Tubuhnya berbalik ke teras rumah mengambil helm untuk Zalina dan dirinya, setelah menutup pagar dengan rapat Zalina yang menempati jok paling depan memberi ruang secara pribadi bersama Rian.
"Janji deh, baliknya bareng gue lagi."
"Oh jelas! Kan lo nya yang nawarin tumpangan."
Ketiganya kemudian melintasi jalanan menuju sekolah Zalina bersama, kejadian ini mungkin akan menjadi kenangan yang menyenangkan bagi Zalina. Bahwa dia pernah diantar oleh Rian dan Zeyya ke sekolah, dua orang yang meski dipanggil dengan sebutan 'kakak' peran keduanya bagaikan orangtua. Walau Rian tak selalu ada dan hanya di beberapa momen tertentu, rasanya sudah cukup.
KAMU SEDANG MEMBACA
HTS (HOLY SHIT)
General FictionRupanya tidak semua orang tahu apalagi menyadari bahwa latar belakang seseorang sangat berpengaruh pada aksi-reaksi, terutama jika itu tentang hubungan berkasih sayang secara romantis. Walaupun Zeyya tak pernah menjalin hubungan-lebih tepatnya dia...