ENAM

160 14 1
                                    


"Ngapain Om Hera ke rumah Iqbal sepagi ini?"

Sebelum berangkat sekolah, Naresh memutuskan untuk kembali menjenguk sahabatnya terlebih dahulu namun, begitu sampai ia melihat sosok ayah Iqbal yang melangkah masuk ke dalam rumah .

Cowok itu langsung bergegas menyusul sebelum terjadi sesuatu pada sahabatnya. Membuka pintu dan berlari kearah suara keributan yang terdengar dari arah dapur.

"Cukup Om!" teriak Naresh pada Hera yang terlihat tengah melayangkan pukulan pada Iqbal.

Naresh dengan cepat langsung berdiri di depan Iqbal, memposisikan dirinya untuk melindungi sang sahabat .

"Minggir kamu! Saya tidak punya urusan dengan kamu!" teriak Hera sembari menunjuk wajah Naresh.

"Sadar om! Iqbal ini anak kandung om ! Darah daging om ! Nggak seharusnya om melakukan hal ini sama Iqbal!" jawab Naresh dengan lantang. Ia cukup berbeda dengan Jean ketika emosi menghadapi Hera.

"Resh, udah resh. Gue nggak papa sumpah" ucap Iqbal berusaha menenangkan sahabat tertuanya.

Hanya tatapan tajam yang Hera tunjukkan,
"Kalian berdua anak tidak tahu sopan santun!"

"Maaf tapi setau saya tidak perlu karena orang seperti om tidak pantas menerima rasa  sopan santun dari kami" jawab Naresh dengan nada merendahkan. Mematikan mental lawan adalah keahlian khusus yang Naresh miliki.

"Kurang ajar !"

Hera bergerak untuk menyerang Naresh namun Naresh lebih cekatan, cowok itu dengan cepat menghindar dan mengambil pisau dapur untuk ia jadikan senjata.

"Ayo serang kalau om berani" ucap Naresh seraya menodongkan pisau itu di depan wajah Hera.

Sementara Iqbal, cowok itu tak mampu melakukan apapun lagi. Luka-luka yang sebelumnya sudah cukup membaik, kini kembali terasa sakit dan kakinya kembali terasa sakit bila ia gerakkan.

"Argh!" geram Hera ketika merasa jika anak muda yang ia hadapi kali ini berbeda dengan yang lainnya.

"Awas kamu Iqbal!" ucap Hera mengancam sebelum akhirnya ia berjalan pergi meninggalkan rumah.

...

"Eh, ini Iqbal,Naresh sama Jean belum berangkat?" tanya Rafa heran pada salah satu siswa di kelasnya. Heran saja karena hari ini ia sampai di sekolah bersamaan dengan bel masuk yang berdering namun ketiga sahabatnya belum ia jumpai.

"Nggak tahu si Raf."

"Mana handphonenya pada nggak aktif lagi" gerutu Rafa .

Cowok itu mencoba menghubungi nomor ketiga sahabatnya berulang kali namun tetap saja nihil. Bahkan setelah bel istirahat sudah berdering pun keduanya tetap tak terlihat.

"Ini pada kemana njir? Bisa-bisanya gue sendirian." ucapnya dongkol sembari berjalan kearah kantin.

Sejujurnya Rafa tidak suka sendirian seperti ini. Apalagi ia biasanya selalu bersama dengan Naresh yang paling disegani banyak siswa, Jean yang paling terkenal kasar dan tentunya Iqbal yang dikenal paling aktif .

"Eh ada yang sendirian,"

Suara ejekan seseorang dari arah belakang membuat Rafa menghentikan langkahnya. Dapat ia lihat kini Leon mendekatinya dengan raut wajah meremehkan.

"Mana temen-temen Lo yang sok pahlawan itu? Kok sendirian aja? Oh iya, jangan bilang Lo takut sama gue kalau tanpa backingan si Jean?" cibir Leon.

"Berisik Lo anak pelakor."

Bugh !

Jawaban Rafa sukses membuat Leon emosi hingga cowok itu langsung melayangkan pukulannya begitu saja. "Jaga bicara Lo bangsat !" ucap Leon emosi.

"Kenapa Lo marah? Bener kan apa yang gue bilang?"

Leon mengepalkan tangannya lalu dengan cepat ia kembali melayangkan pukulannya dengan kuat. Rafa yang awalnya terpojok tentu tak diam saja. Cowok itu juga kembali melayangkan pukulan balasan hingga sebuah teriakan berhasil menghentikan perkelahian keduanya.

"Kalian lagi ! Nggak bosan apa kalian ini ?! Saya aja sampai enek lihat muka kalian yang tiap saat masuk BK!"

Pak Mat, guru konseling itu hanya bisa memijit pelipisnya. Kasus perkelahian Rafa dengan Leon tidak bisa dikatakan baru lagi karena keduanya seringkali terlibat perkelahian sejak semester awal.

Tak !

"Berikan surat itu pada orang tua kalian . Saya nggak mau tahu, orang tua kalian harus menemui saya besok pagi, silahkan kalian keluar." ucap Pak Mat dan mempersilahkan kedua siswa itu meninggalkan ruang konseling.

"Leon."

Leon yang merasa dipanggil langsung menghentikan langkahnya.  Bisa ia lihat kini Pak Mat mendekatinya dengan raut wajah prihatin.

"Buat omongan Rafa tadi, jangan kamu masukin hati ya," ucap Pak Mat memberikan semangat pada sang murid.

"Iya pak terima kasih,saya permisi "

Pak Mat bukanlah guru konseling yang kejam melainkan ia adalah guru yang begitu menyayangi anak-anak muridnya jadi tak heran jika Leon pun menaruh rasa hormat pada beliau.

...

Rafa memasuki rumah masih dengan perasaan kesalnya . Ia rasa hari ini ia cukup sial . Mulai dari ketiga sahabatnya yang tak berangkat tanpa kabar ditambah perkelahiannya dengan Leon seolah semakin memperumit masalah hidupnya.

"Mama" panggil Rafa pada seorang wanita yang tengah menyesap teh di depan televisi.

"Adek udah pulang?" wanita itu tersenyum begitu hangat kemudian berdiri dan mengecup kening sang putra dengan sayang.

"Tumben pulangnya tepat waktu? Biasanya molor kamu," tanya Nadia heran.

Tentu saja biasanya Rafa selalu pulang terlambat karena ia sering mampir ke rumah Jean atau ke rumah Iqbal. Jadi wajar saja Nadia bertanya demikian.

"Temen Rafa nggak berangkat," jawab Rafa sembari membuka ranselnya dan menunjukkan surat panggilan dari sekolah.

"Ini apa lagi sih dek? Kamu buat masalah lagi ya?" ucap Nadia sembari membuka surat yang Rafa berikan.

Rafa hanya mengangguk lalu menyandarkan kepalanya di bahu sang Mama. Rafa adalah anak tunggal jadi ia selalu mendapatkan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya. Begitu pula dengan Nadia yang sangat memanjakan Rafa hingga saat ini.

"Besok biar papa aja yang ke sekolah. Mama ada acara penting," ucap Nadia seraya menjauhkan dirinya dari sang putra.

"Mama mau istirahat dulu ya," Nadia mengusap kepala Rafa dengan sayang sebelum akhirnya wanita itu berjalan menuju lantai dua.

"Acara penting apaan,palingan mama mau ketemuan lagi sama Om Dhio," ucap Rafa dengan nada kesalnya.

Meskipun Nadia begitu lembut dan penyayang pada Rafa, nyatanya wanita itu tak sebaik yang orang lain lihat pada pandangan pertama. Bukti nyatanya, wanita itu bahkan secara terang-terangan berkencan dengan pria lain meskipun ia sudah memiliki suami dan putra.

"Eh, anak papa udah pulang ternyata," ucap Shaka yang baru saja tiba .

"Papa besok ke sekolah Rafa ya!"

"Kayaknya baru aja kemarin kamu naik kelas 12 deh,masa udah mau ambil raport lagi?" komentar Shaka sembari membuat gesture mengingat. Pria dewasa itu mulai membuka surat panggilan yang Rafa berikan .

"Ya Allah,Rafa kamu berantem sama siapa lagi sih?" tanya Shaka lalu dengan gemas ia menarik daun telinga Rafa hingga anak tunggalnya itu mengaduh kesakitan.

"Sama anak selingkuhannya Papa"

Iya, Kedua orang tua Rafa sama-sama berselingkuh secara terang-terangan karena Nadia dan Shaka memang tidak pernah saling mencintai.



Jadi Rafa sakit, jadi Iqbal juga sakit :(




JERAIN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang