Bab 19

49K 4.3K 210
                                    

Suasana ruang tengah kediaman rumah Datu terasa hangat. Ada Datu, Elin dan juga Aksa yang berkumpul bersama meski kegiatan yang mereka lakukan berbeda. Datu duduk di sofa, tepat di sebelah Elin. Tangannya sedang sibuk dengan ponselnya, membalas beberapa chat terkait pekerjaan. Sedangkan Elin yang duduk di sebelahnya tengah fokus menatap layar TV yang sedang menampilkan sebuah film barat. Di bawah Datu dan Elin, ada Aksa yang duduk beralaskan karpet tebal. Saat ini Aksa sedang mengerjakan tugas dan tidak tampak terganggu dengan kegiatan yang dilakukan oleh orang tuanya. Sudah dua hari mereka berkumpul di ruang tengah setelah makan malam. Kini tidak hanya Elin yang menemani Aksa belajar, tapi Datu juga ikut andil.

Di saat lagi nonton film, tiba-tiba Elin merasa kepalanya pusing. Tatapan matanya masih tertuju ke layar TV, ia menyandarkan kepalanya ke lengan Datu.

Datu yang sudah selesai dengan ponselnya, menoleh ke samping karena merasakan sebuah beban di lengannya. "Kenapa?"

"Aku pusing."

Sontak Datu memegangi kedua pipi Elin, kemudian mendekatkan keningnya ke kening Elin. "Nggak panas," gumamnya saat merasakan keningnya bersentuhan dengan kening Elin.

"Mama bilangnya pusing, bukan demam," sahut Aksa yang diam-diam menyimak percakapan orang tuanya. Tangannya masih setia menuliskan jawaban di buku tulisnya.

Datu menarik kepalanya menjauh. "Kenapa bisa tiba-tiba pusing?" tanyanya sambil memijat kepala Elin dengan lembut.

Elin menggeleng lemah. "Padahal selama di Solo aku nggak pernah ngerasa pusing. Baru dua hari di rumah, aku udah beberapa kali pusing."

"Itu artinya Mama pusing lihat muka Papa yang ngeselin," celetuk Aksa menatap Papanya dengan cengiran lebar. 

Datu mematap anaknya sebal. "Nggak mungkin Mama pusing gara-gara wajah tampan Papa."

Aksa terkikik geli. Kini tatapannya beralih ke Mamanya. "Mama minum obat aja biar nggak pusing," sahutnya.

Elin menggeleng. Ia memejamkan mata, menikmati pijatan yang dilakukan suaminya. Setelah agak lama, barulah Elin menepis tangan Datu, agar berhenti memijatnya. "Kamu kapan ambil rapot sisipan?" tanyanya menatap Aksa.

"Rapot sisipan langsung dibagiin ke muridnya, orang tua nggak perlu datang ke sekolah," jawab Aksa.

"Kenapa orang tua nggak boleh datang?" tanya Datu menatap Aksa dengan tatapan menyelidik. "Jangan bilang nilaimu jelek, makanya kamu nggak mau rapotmu diambil sama Mama," lanjutnya.

Aksa menghela napas keras. "Emang kalo rapot sisipan langsung dibagiin ke muridnya. Habis itu dibawa pulang dan orang tua cuma perlu tanda tangan aja."

Elin manggut-manggut mendengar penjelasan Aksa. "Tapi, nilaimu nggak ada yang jelek, kan?"

"Tenang aja. Semua nilaiku nggak ada yang remed."

"Nggak sia-sia Papa beliin kamu PS," sahut Datu mengacak pelan rambut Aksa, membuat anak itu mengerang kesal.

"Kalo nilaiku ada yang jelek, emang PS-nya bakal diambil lagi sama Papa?" tanya Aksa menatap Papanya.

"Kalo nilaimu ada yang jelek, bisa-bisa leher Papa yang ditebas sama Mamamu," jawab Datu melirik Elin sekilas.

"Iyalah. Ujian baru selesai, nilai belum keluar, tapi tiba-tiba udah beli PS dengan dalih buat hadiah," cibir Elin kesal.

"Jangan dibahas terus, Ma. Nanti kepala Mama malah makin pusing," ucap Aksa sembari menutup bukunya.

Elin mencibir. Kemudian ia mengambil buku Aksa dan mulai mengoreksi tugas yang baru saja dikerjakan anaknya.

Happiness [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang