"Tunggulah di sini, aku ingin pergi ke apotek dulu." Garren mengusap bahu Alin, sebelum meninggalkan gadis itu sendirian di hotel.
Ya, Garren membawa Alin ke hotel untuk sementara.
Kepergian Garren membuat seringaian bagi seseorang yang sedari tadi sudah menunggu kepergiannya, mengintip dari balik tembok belokan lorong.
"Kau memang bodoh Ren," gumamnya. Jackie langsung menghampiri pintu hotel.
Jackie tak menyangka Garren justru akan menyembunyikan Alin, ia tak habis pikir dengan apa yang dilakukan sang sahabat.
Sebajingan-bajingannya Garren, Jackie tetap tak menyangka jika pria itu akan melindungi seorang kriminal yang jelas-jelas sudah menyakiti istrinya sendiri.
Cinta apa yang berbuat kriminal, Garren sudah sebuta itu, ternyata.
________
Entah sudah berapa kali Garren menghembuskan napas, ia menggosokkan telapak tangannya satu sama lain.
"Maafkan aku," ucapnya lirih. Saat ia berdiri tepat di kepolisian bukan apotek.
Ia berbohong, membohongi Alin jika ia akan membawa Alin jauh. Ia hanya tak ingin Alin kabur, karena itu ia harus membuat Alin percaya padanya. Ia tak sebajingan itu untuk melindungi Alin, ia jatuh cinta pada Alin karena sikap baik dan lemah-lembutnya, lalu setelah sifat brutal itu datang, untuk apa Garren masih berdiri untuk menjadi tameng wanita itu, yang jelas menyakiti sahabatnya sedari kecil.
Melihat kondisi mental Alin yang memburuk, membuat Garren takut jika wanita itu melakukan hal yang lebih bahaya lagi.
"Jika kau bohong, aku akan membunuh anakmu."
Bisikan Alin masih membuatnya bergetar takut, bukan karena tak bisa melawan. Tapi terkadang orang waras akan kalah dengan orang gila yang diliputi dendam.
Wajarkah jika Garren hanya berpura-pura baik pada Alin? Demi Ayken, demi anaknya. Ia akan berbuat pelan sampai Alin tak sadar. Ia tak ingin memilih langkah yang salah, melihat yang sudah terjadi, Alin berani melakukan itu, bukan hal tak mungkin juga Alin akan berbuat lebih dari itu.
Garren memejam matanya, saat ia akan melangkah masuk getaran ponsel di saku celana, menghentikannya. Keningnya mengerut melihat nama yang tertera di layar.
"Hallo,"
"Kau! Kau pembohong!"
"Aku tak main-main, aku akan membuatmu kembali padaku!"
"Lihat saja anak-"
Garren mematikan sambungan telepon, ia langsung berlari menaiki mobilnya. Membawa mobil dengan kecepatan tinggi. Kenapa Alin bisa tahu? Padahal ia sudah berhasil membuat Alin percaya.
Saat tiba di hotel, kamar yang ia pesan sudah kosong, tak ada Alin di sana. Buru-buru Garren kembali menancapkan gas, menuju rumah sakit. Ia berharap Alin belum sampai ke sana.
Panik.
Ia begitu panik, sampai rasanya membawa mobil saja seolah melayang. Bahkan saat ia sampai dan berlari melewati tiap lorong rumah sakit, terasa tak menapaki lantai.
"Ada apa denganmu?" Abner bertanya heran, melihat sang anak datang bak kesetanan.
"Bagaimana dengan Ayken, apa dia di dalam?" Garren berucap cepat.
"Ya, ia baru saja selesai ditangani. Kemana saja kau huh?" Clera menyahut sengit.
"Dia baru saja menemani kekasih tercintanya, lagipula dia tak akan peduli dengan Ayken."
Garren mengalihkan atensinya, pada Jackie yang baru saja datang. Ia langsung menarik kerah kemeja si empu, tatapan keduanya bersi robok.
"Bajingan, kau kan yang membuatnya pergi?" Garren mendengkus.
"Cih, kau takut aku menjebloskannya ke penjara?" Jackie balik menarik kerah kemeja Garren.
Brugh
Garren mendorong Jackie sampai tersungkur, ia mengacak rambutnya frustrasi. Sungguh, ia akan ikut gila sepertinya.
"Berhenti mencampuri urusanku!" Teriak Garren, tanpa pikir panjang ia meninggalkan Jackie, langsung berlari menuju NICU.
Garren mengumpati Jackie dalam hati, ia pasti dalang dari kepergian Alin. Sialan, Jackie memang selalu suka tergesa-gesa, menyebalkan.
"Sus, bayi yang baru lahir pukul tiga empat lima, atas nama Tuan Ayken dan Garren, aku ingin melihatnya," ucap Garren pada suster yang berada di pintu ruang NICU.
"Maaf Tuan, bukankah bayi dari nomer 67 sudah dipindahkan oleh dokter Evelyn," ucap suster.
"Katakan, dimana dokter Evelyn atau dimana ruangannya?" Garren kalang kabut, ia tak akan tenang sebelum melihat anaknya.
Suster membawa Garren ke ruangan dokter Evelyn.
"Hallo dok, ini ayah dari bayi nomer 67, yang dokter bawa tadi."
Ucapan suster membuat kening Evelyn mengerut, ia sama sekali tak merasa membawa bayi dari NICU. Hari ini bukanlah jadwalnya, untuk memeriksa bayi dari nomer 50 ke atas.
Melihat kebingungan keduanya, Garren mendengkus.
"Sialan." Ia kembali berlari.
Alin.
Nama sialan itu kembali terlintas di otaknya. Pasti wanita itu yang melakukannya. Rumah sakit sebesar dan seketat ini membuat Alin lolos, ia mengutuk rumah sakit sialan ini.
Garren terus menghubungi nomer Alin yang hanya dijawab operator. Ia mengepalkan tangan, menatap jalanan yang berlalu lalang kendaraan. Kemana ia harus mencari Alin? Kemana Alin membawa anaknya? Bagaimana jika Ayken sadar lalu menanyakan anaknya? Seribu pertanyaan menghantui pikirannya. Ini salahnya bukan?
Jika saja ia bisa lebih cepat, Garren tak menyangka semua akan serumit ini. Ini karenanya, karena perasaan bajingan yang tumbuh dalam dirinya.
Bayang-bayang saat ia menyakiti Ayken berputar bak kaset rusak, baru saat ini ia sadar jika apa yang menurutnya baik belum tentu benar.
Garren berjongkok, memegang kepalanya. Merutuki hal-hal buruk yang sudah ia lakukan sampai sekarang, Ayken pasti akan marah, Ayken tak akan memaafkannya terlebih saat ini anaknya dibawa pergi entah kemana.
Tak ingin membuang-buang waktu, Garren kembali bangkit. Jika Alin sudah tahu niatnya, maka ia akan terang-terangan memusuhi wanita itu. Langsung saja Garren kembali memacu mobilnya, berniat ke kepolisian.
Persetan, Alin sudah diluar batas. Wanita polos dan baik? Garren rasanya ingin mengulang waktu dan menarik semua hal-hal baik yang telah ia ucapkan tentang wanita itu.
Ia menyesal, tak semua wanita yang dekat dengan anak kecil adalah malaikat lembut. Nyatanya, Alin tega membawa anaknya yang baru lahir yang bahkan memiliki kondisi kesehatan yang buruk.
"Jika sampai putraku terluka, aku tak akan pernah memaafkan diriku sendiri."
_____
Ewww suudzon nyaahhh😄😄
KAMU SEDANG MEMBACA
l am sorry [END]
Romancepatah hati. kata itu terdengar seperti berlebihan, tapi itulah yang dirasakan Ayken atas perjodohan yang terjalin dengan sahabat kecilnya, Garren. Ayken terlahir dari keluarga terpandang, dengan limpahan kemewahan sehingga membuat pribadi sang anak...