Nestapa Pilu

32 13 2
                                    

Jika perih teramat pedih tak pernah kau rasakan, bagaimana kamu tahu Dia adalah Yang maha menyembuhkan?

Jika kelam teramat gulita tak pernah kau raba, bagaimana kamu tahu Dia adalah Yang maha memberi cahaya?

Jika kehilangan teramat menyakitkan tak pernah kau alami, bagaimana kamu tahu Dia adalah Yang maha memberi pengganti?

Jika fase hancur yang membuatmu lebur tak pernah kau lalui, bagaimana kamu tahu Dia adalah Yang maha memperbaiki?

Terkadang saat engkau meminta dikuatkan, Tuhan tak semerta-merta memberimu zirah besi, Dia menguji, agar pundakmu kokoh berdiri.

Atau saat engkau meminta rezeki, Tuhan tak memperturutkan langsung memberimu hujan emas dari langit, Dia menunjukkan jalan, agar ikhtiarmu lebih membuahkan kesyukuran. Dan saat engkau menginginkan cinta, terkadang Dia akan menggoreskanmu luka, agar hatimu kembali pada sumber cinta yang sebenarnya.

***

20 menit berlalu, dokter tak kunjung datang. Ibu Ji'en masih tidak sadarkan diri. Buliran busa putih mulai keluar dari mulut sang Ibu. Ji'en yang dalam kepanikan segera menghubungi ayahnya, tapi hasilnya nihil, 'nomor yang anda tuju sedang berada di luar jangkauan'.

Gadis itu tak tahu harus berbuat apa, pikirannya kalut, dikuasai panik. Ji'en berlari ke dapur, mengambil handuk basah, dan mengkompreskan ke kening Ibunya. Busa-busa putih disekanya dengan tisu, tapi bukannya menghilang malah semakin banyak.

Tiba-tiba, tenggorokan Ibu Ji'en berdengkur tak normal.

"Gregregregre..." seperti suara berkumur-kumur di leher, kepala Ibunya mendongak ke atas, tarikan napasnya menjadi berat, kuat. Seperti orang tengah sakaratul maut, menemui ajal.

Busa-busa putih bukan lagi mengalir dari tepian bibir, tapi muncrat seperti gunung meletus. Berhamburan ke udara semacam ada dorong keras dari dalam perut. Tak lama berselang, tubuh Ibu Ji'en berubah warna, dari putih pucat perlahan membiru.

"Ma, Mamaaaa. Mama kenapa? Bangun Ma, Bangun! Tolong, tolooong!" teriak Ji'en histeris. Ibunya mengalami kondisi aneh menyedihkan tepat di hadapannya.

Dokter bergegas masuk tanpa mengetuk, akibat mendengar suara Ji'en berteriak kersa dari dalam rumah. Sesampainya dokter di ruang tamu mendekati sofa, Ibu Ji'en sudah tak dapat tertolong lagi.

Reaksi mulut menghamburkan banyak busa adalah reaksi kimia berbahaya akibat overdosis obat-obatan terlarang yang dikonsumsi dalam satu waktu. Ditambah meminum alkohol dalam jumlah banyak, ikut memperparah kerusakan jantung dan paru-paru.

"Mama ga mungkin meninggal, kan dok? Mama masih bisa diselamatkan, kan? Ayo bawa Mama ke rumah sakit dok, saya siapkan mobilnya di garasi" panik Ji'en seraya meraba-raba laci meja, mencari kunci mobilnya.

"Maafkan kami, beliau sudah menghembuskan napas terakhirnya" jelas dokter didera rasa bersalah.

Ji'en menolak percaya, dia kekeh Ibunya masih bisa untuk diselamatkan. Dokter berusia 40 tahunan itu beserta asisten perawatnya tak tahu harus menjelaskan bagaimana.

Teramat memilukan melihat seorang anak menolak percaya, kalau orang yang paling disayanginya sudah tiada. Setelah berunding sesaat, kedua tenaga medis itu memperturutkan membawa jasad Ibu Ji'en ke rumah sakit.

Berharap pikiran positif itu memihak dirinya, dokter di rumah sakit pun sama halnya mengatakan, Ibu Ji'en telah meninggal dunia karena overdosis obat terlarang. Bahkan hasil pemeriksaan membuktikan ada banyak macam obat berbahaya dikonsumsi sekaligus ke dalam tubuh.

Kerusakan organ tak dapat terelakkan, sel-sel mendadak hancur, aliran darah menggumpal, lalu reaksi campuran obat meledak di dalam perut. Memperlihatkan kondisi paling pilu mengenaskan, yang hanya disaksikan oleh Ji'en.

Ji'en sangat terpukul, meraung dalam tangis, terisak histeris. Tak pernah ia bayangkan kehilangan seorang Ibu semenyakitkan ini. Meski kedekatan mereka akhir-akhir ini renggang, tapi kasih sayang Ibunya selalu meliputi setiap langkah Ji'en menjalani kehidupan.

Ji'en teringat saat dulu Ibunya pertama kali mengajarkan naik sepeda. Sebanyak apapun Ji'en terjatuh, sebanyak itu pula Ibunya tak pernah lelah memberikan semangat. Maka sejak itu, Ji'en menanamkan dalam hati kecilnya sebuah keyakinan, ia tidak akan lagi takut terjatuh, karena sosok sang Ibu akan selalu datang membantu, menghimpun keluh, sekaligus membasuh luka yang membiru.

Saat masa kecil dulu, pernah suatu malam listrik rumah mendadak padam, seluruh ruangan gelap gulita. Ji'en berteriak keras, ketakutan. Tiba-tiba saja, sebuah sentuhan penuh kehangatan membelai lembut rambut Ji'en. Sebuah sentuhan yang begitu menenangkan, seketika membuat Ji'en tak takut berada di tengah kegelapan. Pahlawan kecil Ji'en itu selalu menjadi pelita dari segala duka lara yang menghampiri tanpa aba-aba.

Di masa dewasa ini, Ibu Ji'en memang tampak cuek karena sibuk bekerja. Tapi satu hal berharga yang selalu dinafikan Ji'en dalam kesehariannya adalah: 'sang tak pernah lupa menuliskan surat kecil yang diselipkan di atas tudung saji, untuk sekedar menyemangati putrinya beraktivitas di sekolah dan tangguh menjalani hari'.

Ji'en selalu menutup mata dari perhatian kecil itu. Ia selalu melihat teman sekolahnya bisa bersalaman dan tersenyum sapa dengan Ibu mereka, di pagi hari mengantar sekolah. Ji'en ingin momen seperti itu juga terjadi dalam kesehariannya. Tapi nyatanya, kedua orang tua Ji'en sangatlah sibuk, sekedar sarapan pagi bersama saja memang tak sempat.

Namun kesyukuran teramat besar itu, justru muncul menggegu saat sosok Ibu di hadapannya terkapar tak bernyawa, kaku menyemai renyuh. Sarapan pagi sambil membaca surat cinta dari sang Ibu, sudah menjadi hal berharga yang sangat ia nanti, nikmati, dan syukuri. Keberadaan surat pagi yang terselip di antara tudung saji adalah bukti, bahwa sang Ibu masih hidup dan berpijak di bumi. Meski dalam kesehariannya ibu dan anak itu jarang sekali berjumpa atau hanya mengobrol sesekali, semua itu sudah lebih cukup bagi Ji'en.

Tapi angan tinggallah angan. Sesuatu yang sudah pergi, tak mungkin untuk kembali. Sesal paling dalam tak dapat mengembalikan kehilangan. Ji'en terhanyut dalam kenangan, kini ia hanya mengulang-ulang angan di kepala, dengan kata-kata, 'seandainya dulu..' tanpa benar-benar bisa mewujudkannya dalam nyata.

Se-Iman Tapi Tak SejalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang