[3] Tiga

7.3K 378 18
                                    

Vara melangkahkan kakinya dengan malas menuju ruang makan. Lengkap dengan pakaian seragam sekolahnya yang mulai kelonggaran karena berat badannya yang turun drastis. Rambutnya dijepit setengah di belakang, memperlihatkan daun telinganya.

Wajah pucatnya dibaluri bedak tipis sehingga terlihat cukup segar walaupun matanya masih sedikit membengkak.

Rio melengkungkan senyuman manisnya ketika melihat kakaknya yang menarik kursi di sampingnya.

Vara melirik pisau roti yang memang selalu tersedia di meja makan.

"Jangan macem-macem mbak," sindir Rio menyadari lirikan Vara. Gadis itu hanya berdecak kesal sambil melirik Rio sinis.

Vara menghembuskan napasnya mendengar bisikan-bisikan anak-anak tentang dirinya. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdiri menunggu selesainya upacara pengibaran bendera setengah tiang.

Kepala sekolah terus berceloteh mengenang sosok anak murid kesayangannya. Vara menarik napas dalam-dalam, rongga dadanya panas mendengar nama itu disebut kembali. Bukan karena ia tidak ingin mendengarnya kembali, tapi karena ia tidak BISA melihatnya kembali.

Rasa sakit memonopoli, membuat Vara memutuskan untuk meninggalkan lapangan upacara dengan alasan pusing.

Gadis itu akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu di uks.

Vara membulatkan matanya melihat lelaki yang kemarin menolongnya berbaring di atas kasur, dengan kedua kelopak matanya terpejam, kedua tangannya terpaut di perut, dan headset terpasang di telinganya.

Vara berjalan ke arahnya--tepatnya ke arah kasur di sebelahnya.

Dennis membuka matanya, sambil tersenyum miring menatap Vara.

"Hai," sapa Dennis tanpa intonasi. Vara tidak menggubrisnya dan terus berjalan.

"Sakit?" tanya Dennis melihat Vara menghempaskan dirinya sendiri ke kasur sebelahnya. Vara mengangguk kecil.

Laki-laki itu hanya ber-oh dan melanjutkan aktivitasnya--memejamkan matanya.

Baru beberapa saat Vara membenamkan tubuhnya di atas matrass uks, seorang laki-laki tua membuka pintu dengab keras.

"Sudah saya duga kamu bolos upacara lagi, Dennis." Suaranya menggelegar, membuat gadis itu terlonjak kaget. Refleks, Vara terduduk. Sedangkan Dennis tidak kunjung membuka kelopak matanya.

Laki-laki itu Pak Tri, wakil kesiswaan sekaligus guru sosiologi yang dinobatkan sebagai guru ter-bawel di sekolah.

Ia--Pak Tri--melangkah masuk dan menjewer telinga Dennis sehingga Dennis bangun dari kepura-puraannya.

Wajah Dennis yang terbilang cukup ganteng itu hanya bisa meringis seperti bocah-bocah yang dijewer pak ustadz karena bermain perang sarung di depan masjid. Diam-diam Vara terkekeh geli melihat aksi jewer Pak Tri.

"Makanya kalo dibilangin sama orang tua toh ya didenger, uang jajanmu nanti bapak potong," celoteh Pak Tri.

"iya Pak, iya."

Vara sukses melotot, Dennis anaknya Pak Tri? Sejak kapan?

Pak Tri pamit pada Vara sambil terus mengoceh menjewer Dennis ke arah luar. Meninggalkan Vara yang sendirian berada di UKS.

...

Sentilan kecil di telinga, membuat Vara tergolak. Di sampingnya Aiden tertawa terjengkal melihat raut wajah Vara yang terbilang cukup polos.

"Apasih," sungut Vara memajukan bibirnya beberapa senti.

"Lagian sih bengong-bengong aja." Aiden seperti biasa mengelus jambul yang biasa ia poles dengan gel.

"Sok ganteng lu."

"Emang ganteng beneran kali," bela Aiden dengan rasa percaya dirinya.

"Dih, iyuh banget."

"Siapa suruh iyuh gini mau." Goda Aiden tertawa kencang.

...

Vara duduk di kursi taman,  tempat ia dan Aiden biasa menghabiskan waktunya. Tempat yang sama di waktu yang berbeda.

Wajahnya lesu tak bersemangat, menatap langit jingga. Ia menghela napas, menatap pecahan-pecahan marmer yang biasa tersebar di tanah. Tangannya menjulur hendak mengambil satu.

"Hoi," teriak Dennis persis di telinga sambil menjewer telinga Vara, membuat gadis itu meringis sambil mengusap-usap telinganya.

Vara yang otomatis menoleh, tidak tahu bahwa Dennis belum menarik kepalanya menjauh. Sehingga...

"Najis." Vara mengelap bibirnya yang tidak sengaja menyentuh dagu Dennis dengan jijik. Satu senti dibawah bibir lelaki itu, yang untungnya tidak mengenai satu senti di atasnya.

Dennis diam tanpa suara, sedangkan Vara terus berkomat-kamit mengelap bibirnya. melihat Vara seperti itu, Dennis tertawa geli sambil mengusap tengkuknya. "Maaf ya hehehe," ucap Dennis kecil.

"Maaf, maaf, sana minta maaf sama tembok."

Dennis berdiri dari kursi. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

"Ngapain?" tanya Vara yang mulai gemas melihat tingkah laki-laki itu.

"Nyari tembok, mau minta maaf."

"Gak lucu masa, Nis..." Vara memutar bola matanya. Dennis tertawa.

"Biarin gak lucu, yang penting muka gue lucu." Dennis mengusap rambutnya, membuat Vara bergerdik ngeri.

"What ever." Vara bangkit dari tempat duduk hendak meninggalkan Dennis. Vara benar-benar akan pergi kalau saja tangannya tidak ditahan oleh Dennis.

"Mau kemana?" Tanya Dennis mengangkat satu alisnya.

"Bukan urusan lo."

Vara melepaskan tautan jemari Dennis di pergelangan tangan kanannya. Ia mrlangkahkan kaki menjauhi Dennis. Entah kemana kakinya membawa. Sedangkan Dennis hanya tersenyum simpul menatap punggung Vara dari belakang.


....

A/N : HAHAHA aku udah lama gak update.. adakah yang menunggu ini? Fix gak ada T-T yaudah sampe ketemu lagi...


Rain Over the RainDonde viven las historias. Descúbrelo ahora