[19] Sembilan Belas

3.1K 186 25
                                    

"Mama minta kamu jauhin Vara untuk saat ini."

"Ingat terakhir kali siapa yang nodong mama pakai pisau dapur?"

"Kejiwaanmu belum stabil Dennis."

Shit. Shit. Shit.

Dennis menarik-narik anak rambutnya, memukul kepalanya, dan mencoba mengatur napasnya. Memang benar, yang ia lakukan tempo lalu itu sudah kelewatan.

Apakah sekarang, ia benar-benar sudah gila?

Dennis mengambil kantung obat yang persis ada di nakas sebelah tempat tidur. Mengamatinya sebentar. Apakah sekarang, ia benar-benar sudah gila?

Pintu diketuk. Dennis menoleh, menatap daun pintu yang kini setengah terbuka. "Kenapa Ma?"

"Mama ke rumah Bu Hirarto ya, mau jenguk anaknya yang abis operasi." Dwi tersenyum tipis. "Kamu nggak masalahkan mama tinggal sebentar?"

Dennis mengangguk kecil. "Mama pulang jam ber--"

Klik!

Dennis melempar guling yang ada di sebelahnya ke arah lantai. "Ma? Kenapa dikunci ma?"

Tidak ada jawaban.

"Ma?"

"Mama?"

Hening. Dan Dennis masih menunggu jawaban yang tidak kunjung terdengar. "Shit, gue dikunciin," umpatnya.

Dennis beranjak mencari ponselnya, niatnya ingin menelepon ibunya. Tetapi dicari di atas tempat tidur dan di atas nakas pun tidak ada. Dennis mengacak rambutnya dengan frustasi, "Handphone pun di ambil?"

Tidak ada aktivitas lain yang Dennis lakukan selain berbaring di tempat tidur, meringkuk dan menjambaki rambutnya sendiri. Laki-laki itu benar-benar terpuruk saat ini. Tiap kali ia mendengar bunyi kendaraan di depan rumahnya, ia selalu beranjak ke arah jendela, kalau-kalau ibunya sudah pulang. Namun dua puluh kali sudah, laki-laki itu bolak-balik dari tempat tidur menuju jendela lalu ke tempat tidur lagi, dan ke jendela lagi, tetapi ia tidak juga melihat wanita itu di depan rumah.

Dennis benci dikurung, dan orangtuanya seharusnya tau itu.

Kali ini suara motor persis berhenti di depan rumahnya. Menderu, seakan-akan ingin masuk ke dalam rumah. Dennis bangkit, untuk kesekian kalinya. Membuka tirai jendela, dan kali ini membelalakkan mata.

***

"Dia ada di rumah nggak sih? Kok dipanggil-panggil nggak ada yang nyahut?" keluh Cetta terus menempelkan ponselnya di telinga. "Di telpon juga nggak di angkat."

Ia menatap layar handphonenya. "Tuh kan malah dimatiin."

"Mungkin pergi?" Vara takut-takut menatap Cetta yang sedari tadi heboh mengomel.

"Nggak lah, orang sepatunya aja ada tuh di depan pintu," dengus Cetta. Vara mengembuskan napasnya.

"Kenapa sih ini anak," omel Cetta pada layar handphonenya sendiri.

"Tidur mungkin?"

"Masa iya doi nggak denger kita teriak-teriak?" Sumpah, wajah Cetta benar-benar seperti perempuan sedang pms, auranya gelap dan kusut sekali. Vara hampir tidak berani menimpali saking kusutnya.

Rain Over the RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang