191 24 3
                                    

R U M I T

Ini, dimana?

Pandanganku langsung tersebar kesekitar setelah merasa mendapat tepukan ringan dibahu, oleh daun maple oranye yang entah tak asing.

Disini,

Lagi.

Mimpi ini lagi. Hanya, kali ini lebih jelas. Jauh lebih jelas.

Jalan ini. Aku masih tak tahu, dimana. Tapi rasanya benar-benar tidak asing. Semuanya, semuanya rasanya tidak asing. Bahkan hembusan anginnya saja tidak asing; rasa dinginnya, rasanya aku pernah disini,

Selain di mimpi.

Kulihat ke ujung jalan—trotoar. Sekarang ini aku sedang berdiri di pinggir trotoar. Dijalan yang sama, tanpa ada orang sekalipun. Hanya suara berisik daun yang berbisik bersama angin, sisanya, benar-benar kosong. Sepertinya kalau aku bicara, hanya akan ada suaraku saja yang kembali bergema.

Ada satu lagi yang janggal.

Lama-lama pandanganku jadi kabur. Apa ini? Rasanya seperti, pandanganku terhalang gumpalan air besar. Lantas tanganku segera mengecek—aku menangis.

Kok tiba-tiba?

Tapi kemudian, rasa sedih memenuhi dadaku, sesak.

Tersedu.

Aku menangis, sendiri, ditengah kesunyian yang tidak bisa terpecahkan.

Semacam ingin berhenti, tapi tidak bisa. Ini sedih sekali, tapi, dasar dari kesedihan ini tak bisa ditemukan. Benar-benar sedih, seperti rasanya kamu baru kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Aku berjongkok dipinggir jalan, memeluk lutut dengan keadaan yang masih tersedu. Kututupkan mataku, berusaha bertarung mengambil napas ditengah-tengah tangisan. Jarang sekali aku menangis seperti ini.

Setelah kututup, lalu, terbitlah gelap.


jam 6:00 pagi ; kamar.

Sakit. Itulah rasa pertama yang kembali normal.

Sulit. Aku kerahkan semua tenaga untuk membuka mata—berharap menemukan jawaban atas kesedihan yang begitu pahit— daaan setelah kesekian kalinya mencoba, akhirnya, terbuka.

".. Oh," kata pertama setelah membuka mata. Ternyata pemandangan pertama yang kulihat adalah tumpukan bukuku bekas perjuangan tadi malamㅡ atau lebih tepatnya tadi pagi. Ini dunia nyata.

Kucubit sedikit tangan kiriku. Sakit. Agaknya, aku menyesal melakukan itu. Kuluruskan sedikit beberapa ruas tulang belakang yang sudah beberapa jam tertidur dengan posisi yang benar-benar buruk. Sakit. Segalanya saja, sakit. Lama-lama hari ini bisa jadi hari sakit. Dengan tenaga yang ada aku beranjak berdiri dari kursi dan meja belajar yang menopangku saat tidur, berjalan menutup jendela yang terbuka lebar, kemudian keluar kamar dengan mata setengah terbuka.

"woof woof!"

Gonggongan dirinya membawa senyuman, siapa yang tidak senang bangun tidur kemudian disajikan pemandangan seekor anjing imut yang kemudian lari kegirangan dan lompat kepelukanmu?

"Iya, iya. Selamat pagi, Veron." sapaanku dibalas dengan beberapa gonggongan bahagia darinya.

Rutinitas pagi hari dimulai kembali. Bangun tidur kuterus mandiㅡtidak, jangan buat aku menyanyikannya. Pagi yang normal seperti pagi yang orang atau bahkan kamu alami setiap hari. Semuanya berjalan begitu saja ketika kamu sudah terbiasa dengan segalanya. Semerbak aroma mi dan telur memenuhi dapur kecilku, kulihat Veron sedang sibuk dengan makan malamnyaㅡyang mendadak jadi makan paginya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 31, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

rumit。Where stories live. Discover now