Penantian Panjang end

56 3 4
                                    

Aku bangkit dan mencoba lagi untuk melepas sakit ini. Dengan sangat keras aku berteriak menumpahkan semua... semua pedih, perih namun tetap saja sia-sia. Aku begitu putus asa. Aku memandang ke bawah bukit dengan mata nanar. Hamparan sawah yang hijau pun tak mampu menjadi obat bagi sakitku ini.

'Tuhan, aku tak sanggup lagi." Jeritku.

Aku kembali luruh. Tak lama kemudian aku mendengar suara di belakangku.

"Aku sudah menduga, kau ada di sini." Seketika itu tubuhku serasa beku.

Tak sedikitpun dia merasa berdosa. Dia berjalan menghampiriku kemudian melewatiku begitu saja. Dia berdiri di tempat favoritku sambil membelakangiku. Dengan sebelah tangannya dimasukkan ke dalam saku sedangkan tangan yang bebas mengapit jas yang disampirkan di lengannya.

Dia menikmati pesona alam pedesaan dari atas bukit. Dia berdiri dengan anggkuhnya. Tak sadarkah dia akan keadaanku ini?

"Hem... Apa kau sudah terima undanganku?" Dengan santai dia bertanya hal itu.

Belum puaskah dia menyakitiku? Kini aku membenci diriku yang pernah membawanya ke tampat ini.

"ha... ah, iya... sudah. Selamat ya, semoga semuanya berjalan tanpa hambatan." Aku tak mampu menyembunyikan getar perih dalam suaraku.

"Apa kau bahagia?" Sepertinya dia tak peduli dengan air mata dan rasa sakit yang aku derita karenanya. Dia hanya peduli pada pernikahannya saja.

'Dasar egois'

"Aku???... ten... tentu saja aku bahagia. Dia wanita yang cantik dan juga tampak sangat anggun." Aku menarik nafas dalam, mencari kekuatan untuk tetap berdiri tegak di hadapannya.

Angin mulai terasa menusuk tubuhku. Aku ingin segera pergi dari tempat ini.

"Dia? Apakah kamu tahu siapa namanya?"

Terus saja sakiti aku, bahkan aku rela mati jika itu yang diinginkannya tapi berhentilah menyiksa batinku seperti ini.

"Namanya? Ah, Rani... hem, iya Rani." Beruntung otakku masih bisa menemukan nama wanita itu.

"Hem... Kiran, sepertinya kamu belum membaca undangannya. Ini aku sengaja bawakan untukmu, bacalah."

Suraj sepertinya benar-benar ingin membuatku mati. Tanpa perikemanusiaan dia memaksaku untuk membaca undangan yang melihatnya saja aku tak mau.

"Aku sudah membacanya." Kilahku.

"Kalau begitu cepatlah bersiap." Dia menatapku dengan tatapan aneh.

"Persiapan? Aku tak perlu buru-buru. yang harus dipersiapkan adalah kedua mempelai." Aku merasa muak dengan percakapan ini. Aku ingin segera mengakhirinya.

"Pergilah, aku akan menyusulmu."

Aku bermaksud untuk pergi, tapi dia meraih tanganku dan menyerahkan sebuah undangan ke dalam genggamanku.

"Karena itu aku minta kau baca undangannya. Atau... semuanya akan jadi berantakan." Aku hanya diam dan menatap wajahnya dengan bingung.

"Maksudnya?"

Dia melangkah pergi meninggalkan aku sendiri dalam kebingungan.

'Apa maksud semua ini?' Dengan tangan bergetar aku membuka dan membaca undangan itu.

'Oh Tuhan...'

Aku menutup mulutku yang terbuka lebar. Aku tak percaya dengan mataku. Karena tidak sedikitpun aku menyangka apa yang tertera di kertas berwarna emas itu. Setelah puas memandangi tulisan dalam undangan tersebut, akupun berlari seperti anak kecil.

Dia melangkah dengan santai meniggalkan aku di bukit. Aku mengejarnya menuruni jalan setapak mengikuti langkah kakinya yang lebar. Dia tahu kalau aku sedang berlari kearahnya. Dan diapun berhenti, menunggu aku mendekat.

Dia berdiri di kaki bukit tanpa membalikkan badannya. Aku berhenti sesaat namun aku tak kuasa membendung rasa bahagia hingga aku pun merangkul tubuhnya dari belakang. Aku memeluknya erat.

Nafasku memburu, paru-paruku butuh udara segar untuk bisa menenangkan jantungku yang berbebar kencang. Aroma tubuhnya terhirup oleh ku lewat udara yang masuk melalui hidungku. kehangatan terasa menyentuh hatiku yang telah lama membeku. Aku sangat bahagia saat ini.

Dia menyentuh lembut jemari tanganku yang melingkari tubuhnya. Dia melepaskan rangkulan tanganku dan menarikku ke hadapannya.

Kini tangannya yang kekar telah berada di pundakku dan wajahnya bagitu dekat dengan wajahku sehigga aku bisa melihat bayanganku dimatanya. Aku gugup hingga aku lupa bernafas.

"Kiran, aku tak bisa membuang bayangan ibumu dari pikiranku, tapi aku tau satu hal yang membedakanmu dari dirinya." Dia diam cukup lama dengan matanya lekat menatap mataku sepertinya dia sedang memancing rasa penasaranku.

"Apa? Apa yang kamu rasakan tentang aku dan bunda?" Aku ingin tau seperti apa bunda dimatanya.

"Hmm.... Kamu lebih terbuka dan lebih realistis tapi bundamu itu wanita yang tegar dan anggun." Tatapannya tak lepas dari mataku.

"Sekembalinya aku dari sini, tidak sedetikpun aku bisa melepaskan bayanganmu dari ingatanku. Senyummu nyaris membuat aku gila. Sampai aku harus meminta pertolongan seorang psikiater. Dan orang itu adalah wanita yang datang bersamaku. Dia telah mendengarkan seluruh kisahku hingga sampai pada kesimpulan bahwa yang terbaik adalah aku menikahimu. Dan pada akhirnya dia menyarankan agar aku segera meminangmu. Karena jika tidak.. menurutnya, selamanya kamu tidak akan membiarkan aku hidup dengan tenang.." diakhir kisahnya masih sempat dia menggoda aku.

Wajahku merona seketika. Senyumnya nyaris membuat kakiku tak mampu menopang tubuhku.

"Apa kamu sudah bisa tenang sekarang?" Tanyaku dengan sedikit senyum menggoda.

"Hemm, Yah... Setelah ini aku akan melihat senyum itu di setiap hariku. Dari aku bangun tidur sampai aku akan tidur lagi." Kata-katanya membuat darahku mengalir lebih cepat.

Aku menunduk malu karena Aku yakin kini wajahku telah sewarna dengan tomat.

Perlahan aku menurunkan tangannya dari bahuku dan berjalan mundur menjauh darinya. Aku terus melihat dia sambil tersipu. Dia memberiku senyum terindah yang membuat jantungku tak bisa berdetak dengan tenang.

Dia berdiri tegak dengan jas di lengannya serta ikatan dasi yang dilonggarkan di lehernya sedangkan dua kancing teratas kemejanya dibiarkan terbuka.
Dia sering menggantung jas yang di lepaskan dari tubuhnya di tanggan kirinya sedangkan tangan kanannya di masukkan kedalam saku celana.

Dalam pandanganku, diposisi ini kewibawaannya terpancar. Di kesempurnaannya, aku sangat mengaguminya.

Aku balikkan tubuhku perlahan kemudian aku berlari cukup kencang menjauh darinya. Biasanya di saat seperti ini aku butuh nenek sebagai tempat berbagi kebahagiaan.

Tetapi sepertinya kali ini tidak. Aku tak mungkin menceritakan ini pada nenek. Karena itu aku memutuskan untuk pergi ke makam bunda.

Aku duduk di depan pusaranya. Aku tidak sering berkunjung sebelumnya. Namun setelah nenek bercerita padaku, aku menyempatkan diri datang setiap libur kerja. Aku berkata sambil mengusap nisan yang bertuliskan nama bunda.

Bunda, hutangmu terbayar sudah. Aku akan segera menikah, menikah dengannya, dengan Suraj yang sama-sama kita cintai.  Doakan semoga pernikahan kami berjalan lancar tanpa halangan.

*******

Next to last page

Penantian PanjangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang