Tambahan

48 3 5
                                    

Sejak semalam kamarku telah di sulap. Aneka bunga dan asesoris kamar pengantin telah merubah kamar ini. Walaupun Suraj akan langsung membawaku ke rumahnya di kota. Tapi nenek meminta agar kamarku tetap dihias sebagai kamar pengantin.

Aku mendengar suara nenek dan suraj berbicara di depan kamarku. Tak lama kemudian nenek pun masuk ke dalam kamarku. Aku tahu nenek sengaja memutariku dan mengambil posisi menghadap pintu agar posisiku membelakangi sosok di depan kamar yang sedang mencuri pandang kepadaku. Tak berapa lama beberapa orang perias baru saja menyelesaikan tugasnya merapikan gaun putih yang aku kenakan.

Aku melihat di tangan nenek ada sebuah tas etnik tapi sepertinya tas itu bukan dari negri ini. Tas itu cukup menyita perhatianku sampai aku tak sadar bahwa para perias telah keluar dari kamarku. Meninggalkan aku dan nenek berdua saja di dalam kamar.

"Kamu sangat cantik Kiran. Persis seperti ibumu. Kecantikan ibumu bagaikan rembulan sedangkan kamu bagaikan cahayanya." Kalimat nenek membuatku tersipu.

Nenek membuka tas etnik yang sempat menyita perhatianku. Sehelai kain yang sangat panjang di keluarkan nenek dari tas tersebut. Lalu mengenakannya dikepalaku. kedua sisi kain tersebut nyaris menyentuh lantai. Kain itu memiliki hiasan batu dan benang berwarna emas yang sangat bagus walau terlihat kuno.

"Kain ini milik ibumu, Kiran. mendiang ibunya yang memberikan kain ini padanya. Ibumu juga mengenakan kain ini ketika menikah dengan ayahmu. Dia terlihat sangat cantik. Persis sepertinu. Ibumu menitipkan kain ini padaku sebagai hadiah untuk mempelai Suraj. Dan sudah kewajibanku untuk memakaikan kain ini kepadamu, Kiran. Karena kamu adalah mempelai dari purtaku." Nenek memakaikan kain itu di kepalaku. Setelah itu nenek memutar tubuhku menghadap meja rias agar aku bisa memandang diriku di cermin. Kain ini milik keluargaku dan kini kain ini melekat di tubuhku. Sebagai hadiah untuk Suraj. Sungguh aneh.

"Setelah Suraj kehilangan ibumu aku takut dia tidak akan pernah menikah untuk selamanya. Aku selalu berdoa agar tuhan memberinya seorang pendamping supaya dia tidak hidup sendiri dalam kesedihan." Aku melihat mata nenek berkaca-kaca.

"Dan ternyata tuhan telah menyiapkan pendamping untuknya yang dititipkan langsung padaku untuk aku jaga dan aku rawat serta aku besarkan dengan penuh kasih." Air matanya mulai menitik satu persatu di pipinya.

"Aku hanya ingin kamu bahagia hidup bersama suraj untuk selamanya. Suraj adalah matahari dirumah ini Kiran. Dan kamu lah sinarnya. Suraj tak kan benderang tanpamu Kiran." Nenek menghapus airmatanya yang jatuh membasahi pipinya.

"Nenek berdoa agar Tuhan menjaga cinta kalian dan nenek berharap agar kalian jangan pernah terpisah. Suraj adalah separuh jiwaku, Kiran. Sedangkan kamu adalah hidupku. Tak akan ada kebahagiaan dalam hidup nenek jika salah satu dari kalian bersedih." Aku berusaha menahan airmata yang telah terkumpul di pelupuk mataku agar tidak jatuh.

"Baiklah Kiran, aku harus menyiapkan segalanya dengan baik. Bersiaplah karena waktunya hampir tiba." Nenek berusaha menetralisir keadaan yang tiba-tiba menjadi haru.

Sebelum nenek keluar dari kamarku, aku memanggilnya. Dengan susah payah aku menghampirinya. Dan aku hanya berdiri di hadapannya, cukup lama. Aku memandangnya sebagai satu satunya orang tua yang aku punya. Awalnya kami tidak memiliki ikatan apapun, tapi Tuhan telah mengikat kami melalui takdirnya. Dan kini aku akan menjadi menantunya.

Dengan spontan aku membungkuk dihadapannya kemudian menyentuh kedua kakinya. Debu di kakinya lebih berharga daripada diriku. Aku hanyalah seorang anak yatim piatu yang hidup sebatang kara. Jika tanpa nenek, apa jadinya aku. Nenek mengangkat bahuku dan langsung memelukku dengan erat.

Tak mampu lagi aku menahan airmata ini agar tak menetes. Aku tak lagi perduli dengan riasan wajahku yang akan luntur karena airmata ini. Nenek menyapu airmataku dan mengecup keningku. Tangannya yang hangat membelai pipiku. Setelah itu nenek kembali meminta aku untuk bersiap. Dan nenek meninggalkan aku sendiri di dalam kamarku.

Aku kembali berdiri di depan cermin dalam perasaan yang campur aduk. Aku teringat kata nenek tentang bunda dan aku pun mencoba membayangkan sosok bunda. Tanpa terasa aku pejamkan mata dan berharap seandainya...

Tiba-tiba aku merasa seperti ada yang menyentuh kepalaku dan kemudian mengecup keningku. Aku tahu ini bunda. Aku tak ingin membuka mataku. Aku ingin merasakan sentuhannya yang tidak sedetikpun pernah aku rasakan. Aku ingin merasakan ini lebih lama lagi, tapi...

Suara di balik pintu yang memanggilku membuat aku membuka mata dan seketika itupula segalanya lenyap. Yang tersisa hanya aku dan pantulan diriku di cermin. Meskipun begitu, itupun cukup membuatku merasa sangat bahagia.

Panggilan itu menandakan bahwa telah tiba wakunya aku untuk keluar. Aku berjalan perlahan menuruni tangga demi tangga dengan di dampingi nenek. Dan setibanya di depan pintu aku melihat sebuah sedan putih yang berhiaskan bunga dan pita warna-warni terparkir untuk membawaku kepada kekasihku.

Sesampainya di gereja, semua undangan sudah memenuhi ruangan. Aku berdiri dengan grogi sendirian di depan pintu tanpa seorang pendamping. Aku butuh seseorang tapi tak ada siapapun di tempat ini kecuali aku. Sampai sebuah suara menyapaku.

"Kamu begitu anggun di hari persandinganmu ini, nak." Seorang pria paruh baya dengan mengenakan jas hitam sangat rapih tiba-tiba berdiri disisiku.

"Pak Guru?!" Seruku sangat terkejut. Dia mengangguk dan mengulurkan tangannya. "Aku akan menjadi pendampingmu anakku." Kalimat itu menjawab doaku yang tak ingin berjalan sendiri menemui mempelaiku.

Setelah ia meletakkan tanganku di lengannya, ia pun membimbingku menyusuri karpet merah yang terbentang panjang sampai ke altar. Kain panjang hadiah dari bunda yang di kenakan di kepalaku menitupi hingga separuh wajahku. Dari celah kain aku bisa melihat wajah Suraj mengeras. Aku tau betapa terkejutnya dia melihatku mengenakan kain berwarna merah yang pernah dikenakan bunda di pernikahannya.

"Terimalah mempelaimu, Suraj." Dia sepertinya terkejut ketika pak guru menyerahkan tanganku padanya. Untungnya hanya sesaat. Dia menerima tanganku dari tangan pak guru dengan sedikit gugup.

Lalu kami pun bersama-sama menghadap pak pandeta yang akan segera membacakan kalimat-kalimat sakral pernikahan.

Prosesi sakral telah salesai. Pendeta meminta kami saling menghadap. Aku kembali memandang wajah Suraj yang kini telah resmi menjadi suamiku. Aku melihar dengan jelas tangannya gemetar ketika akan menyingkap sari yang menutupi sebagian wajahku.

Perlahan dia menyingkap sari berwarna merah yang menutupi wajahku. Setelah itu ia kembali tertegun. Cukup lama ia memandangku. Dengan pandangan campur baur.

Aku tahu ini tak mudah baginya. Mungkin saat ini baginya seperti sebuah dejavu. Kain merah yang sama dengan wajah yang sama. Tapi orang yang berdiri saat ini berbeda. Tidak bisakah dia mengingat siapa aku?

"Kiran" aku menyebutkan namaku dengan suara perlahan. Agar dia tahu bahwa yang berdiri di hadapannya bukanlah Chandani.

"Suraj apakah kau akan mencium mempelaimu?" Tanya pak pendeta. "Ten..tentu saja." Jawabnya terbata. Dengan mata yang tak lepas dari menatapku.

Diapun mencium kedua pipiku dan keningku lalu ia menempelkan keningnya dengan keningku. Aku melihat bibirnya bergerak. Suaranya nyaris hilang bersama hembusan angin. Tapi untunglah aku masih bisa menangkap gerak bibirnya.

"Tolong ingatkan aku akan dirimu, jangan biarkan aku tersesat bahkan sampai melupakanmu. Maafkan aku akan kelemahanku, Kiran" Aku menarik wajahku menjauhinya. Aku berusaha tersenyum meskipun senyumku teras getir. Aku berusaha menenangkan kegelisahannya. Aku tahu ini sangat sulit baginya. Hidup bersama kenangan yang cukup lama menyakitinya. Aku pun mengecup bibirnya.

SAKIT.

Aku akan menghabiskan seluruh hidupku bersamanya dalam bayang-bayang Chandani, ibuku. Tapi yang terpenting bagaimana aku bisa melewati malam pertamaku bersamanya? Akankan nama Chandani yang akan keluar dari mulutnya? Jika iya, bagaimana aku membujuk hatiku agar tidak terluka?

Meskipun demikian, aku tetap harus menelan airmata yang jatuh di dalam hatiku. Hanya karena aku mencintainya, sangat mencintainya. Lalu aku memandang sekelililng dan memberikan senyum pada semua tamu undangan yang hadir.

Sekalipun kealpaan suamiku telah melukai hatiku, tapi aku harus tetap tegar. Karena hari ini adalah hari bahagiaku. Dan aku akan berusaha membuat dia mengingatku selalu. Selamanya...

End

Penantian PanjangOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz