I Want You

16.1K 566 0
                                    

Ardhan kembali kerumah lebih cepat bahkan lebih gembira dari biasanya. Ia tak akan menyangka, gadis yang selama ini berputar dipikirannya mau memenuhi undangan dari surat bodoh yang ia titipkan pada salah satu pelayan. Ardhan segera masuk ke kamar. Tempat ternyamannya yang bernuansa abu-abu dan sangat maskulin. Segera ia mengeluarkan ponsel tipis hitamnya dan men-dial sebuah nomor. Ya, nomor yang didapatkannya berkat dua jam berdua di cafe dengan gadis itu. Bagi pria tampan seperti Ardhan mendapatkan no telfon seorang wanita akan sangat mudah. Namun, meminta nomor seorang wanita yang ia suka menjadi tantangan baru baginya.

Sedikit lama menunggu akhir sang pemilik telfon menyapanya dari ujung sana.

"Hallo." Jawab gadis diseberang sana.

"Hai, maaf mengganggumu. Aku kira kamu sudah tidur." Ucapnya kaku.

"Belum kok, aku tadi lagi makan sambil nonton sama Arla."

"Oh, sekarang kamu disebelah Arla?" Tanyanya.

"Gak kok. Tadi pas tau kalau kamu nelfon, aku langsung lari ke kamar." Zee sudah cerita kepada Ardhan kalau dia tinggal dengan sahabatnya Arla sejak tamat kuliah.

"Hahaha baiklah." Ucap Ardhan.

Percakapan mereka pun berlanjut. Rasanya bagi seorang playboy seperti Ardhan, tentu sangat mudah mengajak seorang gadis berbicara bukan. Namun jika kalian tau, saat ini Ardhan yang menelfon Zee, tetapi gadis itulah yang pada akhirnya banyak berbicara.

"Ini sudah malam. Lebih baik kamu tidur. Istirahat biar gak sakit. Kalo gitu, good night Zee. Sweet dream. Take me to your dream too." Sahutnya sambil tersenyum.

"OK, you too." Terdengar kekehan kecil dari ujung telfon. Sambungan mereka pun terputus. Entah apa yang ada di pikiran Ardhan saat ini. Rasanya semua bebannya seperti hilang ditelan bumi karena terlalu bahagia. Dari awal ia bertemu Zee, Ia tau bahwa Zee akan menjadi miliknya.

************

Tepat pukul delapan pagi Ardhan sudah sampai dikantor. Untung saja ia sempat melihat email masuk dari Dinda, sekretarisnya, yang mengatakan kalau hari ini pukul 8.30 pagi akan ada meeting para pemegang saham.

Tiba jam sudah ia berada diruang rapat. Dan rapat berjalan lancar. Tidak ada kendala yang cukup berarti. Ardhan memang orang yang sangat selektif dan tegas dalam memimpin perusahaannya. Wajar saja karyawannya pun banyak kagum kepadanya. Hingga tahun ke lima perusahaannya ini berdiri, semua bisa terkendali dibawah pengawasannya.

Ardhan men-dial telfon yang ada di meja Dinda dan menyuruhnya untuk segera keruangan.

Suara ketukan pintu terdengar dari luar, Dinda pun dipersilahkan masuk.

"Ok Din, saya minta jadwal hari ini." Ucapnya berwibawa.

"Setelah meeting tadi bapak sudah tidak ada kegiatan. Tapi besok bapak diminta bos besar untuk berangkat ke Bandung." Ucapnya.

"Besok papa minta saya ke Bandung? Ada perlu apa?" Tanyanya kaget. 'Kalaupun masalah pekerjaan kenapa papa tidak menghubunginya langsung?' Batinnya.

"Baiklah. Terimakasih. Hari ini saya akan keluar, karena ada urusan pribadi. Jika ada yang ingin bertemu saya hari ini, tolong aturkan saja jadwal dihari lain." Dinda pun melangkah keluar dan permisi kembali ke mejanya.

Ardhan segera menelfon papa nya. Tak lama menunggu, telfon pun diangkat dan menperdengarkan suara berat diseberang sana.

"Pa, kalau mau nyuruh aku ke Bandung, gak usah lewat Dinda. Kenapa papa gak nelfon aku langsung? Aku disini banyak kerjaan pa. Banyak janji ku yang akan terbengkalai jika papa memberi kabar mendadak seperti ini." Ardhan menyenderkan badannya dengan kasar, tidak terima atas apa yang dilakukan oleh sang ayah. Janji yang terbengkalai bukanlah janji kerja sama antar perusahaan, melainkan janji pada dirinya sendiri agar secepatnya menjadikan Zee miliknya.

"Kamu ini, papa belum bicara. Kenapa jadi kamu yang marah-marah sama papa? Sekarang papa tanya, kenapa setiap malam papa telfon kamu gak pernah angkat?" Adhi tersenyum di seberang sana. Anak sulungnya memang sangat mirip dengan nya, sangat keras kepala.

"Mmm anu, itu, aku..." Jawabnya tergagap. Ia tidak menjawab telfon dari papa bukan karna ia tidak tau kalau papa nya menelfon. Tapi Ardhan lebih memprioritaskan proses PDKT nya dengan gadis itu.

"Kenapa kamu gugup? Jadi sekarang siapa yang salah huh? Salah papa kalau menyuruhmu ke Bandung melalui sekretaris mu?" Tanya Adhi berwibawa. Adhi Wirya Kusuma bukanlah sosok ayah yang kaku terhadap anak-anaknya. Bahkan ia selalu bisa berbicara seperti teman dengan anak-anaknya.

"Besok kamu ke Bandung, Ada yang ingin papa bicarakan denganmu." Ucap Adhi.

"Memangnya gak bisa ngomong di telfon ya pa?" Bujuknya.

"Gak bisa. Pokoknya besok kamu papa tunggu dirumah." Adhi mematikan Teflon. Ardhan pun merasa ada yang tak beres. Tapi melawan papa nya sama saja ia melawan bos besar. Walaupun perusahaannya sekarang adalah hasil kerja kerasnya, tetap saja papanya yang memegang andil atasan semua perusahaan tersebut. Bahkan ia beluim mampu untuk di skors dari perusahaan.

Jam makan siang, seperti biasa. Ardhan segera memacu mobil sport kesayangannya menuju cafe Zee. Semalam ia berjanji kepada Zee akan mengajaknya makan siang diluar. Sudah lebih dari seminggu ini mereka intens berhubungan, walaupun hanya dalam bentuk traktiran makan siang atau telfonan sebelum tidur. Bagi Ardhan mendengar suara Zee sebelum tidur ibaratkan nyanyian penghantar tidur baginya. Katakan lah Ardhan lebay, tapi begitulah kenyataan jika seseorang sedang dilanda asmara.

Ardhan memasuki pelataran parkir cafe dan menunggu Zee keluar. Tak lama berselang, Zee menampakkan dirinya dengan kemeja soft pink dan full flower print skirt yang membuatnya selalu nampak mempesona dimata Ardhan. Ardhan keluar dan membukakan pintu untuk Zee, dan bergegas berjalan memutar menuju pintunya dan duduk didepan kemudi.

Ardhan's POV

Hari ini aku janji buat mengajak Zee makan siang diluar. Entahlah, walaupun setiap hari bertemu ataupun telfonan, tetap sama membuatku rindu dengan nya. Aku mengemudikan mobil kesayangan ku dengan kecepatan rata-rata. Selama diperjalanan kami tak henti saling bercerita. Kadang melihatnya tertawa disela percakapan kami, membuat perasaanku menguat untuk memilikinya. Dia gadis yang manis, tapi juga mandiri. Sejauh aku mengenalnya, membuatku semakin penasaran akan dirinya.

Aku sengaja memilih resto di daerah Bogor untuk tempat kami makan siang. Aku berencana akan mengatakan sesuatu padanya. Menurutku lebih cepat, maka akan lebih baik.

"Dhan, kita makannya dimana sih? Perasaan gak nyampe-nyampe. Aku uda laper banget ni." Rengeknya sambil memegang perutnya yang ramping.

"Tenang aja, aku gak bakal nyulik kamu kok." Senyumnya jahil.

"Kenapa gak deket-deket cafe atau kantor kamu aja sih?" kesalnya.

"Aku udah bosen makan disitu-situ mulu. Sudah, kamu pokoknya tenang aja. Lunch kali ini special buat kamu."

Zee tampak sedikit kesal, namun ia tetap bertanya-tanya mengapa untuk makan siang saja harus sejauh ini?
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Haii haii..
Satu hari, update 2 part.. Kurang baek apa coba aku?

Maafkan author yang buat Ardhan jadi plin plan gak jelas. Di POV sebelumnya, dia lo-gw. Sedangkan di POV ini dia aku-kamu.. Soalnya gak mungkin kan sama calon pacar lo-gw. Wkwkwkwk

Vomment!!!!

Happy reading..

Will Be Happy Ending (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang