Lima

9K 737 8
                                    

Iskak dan Millenio sudah berada di dalam warung. Karena sudah agak siang, warung tersebut jadi lebih sepi daripada ketika pagi hari. Hanya ada Iskak, Millenio dan seorang laki-laki paruh baya.

"Buk, nasi pecel dua ya. Makan sini saja. Sama teh hangat dua," ucap Iskak pada ibu pemilik warung.

Setelah mengatakan pesanannya, raut wajah Iskak berubah murung. Ia bertopang dagu sambil memandang meja dengan tatapan kosong.

Millenio yang menyadari hal itu jadi merasa penasaran. Apa yang sedang dipikirkan anak ini? Kenapa pandangannya kosong?

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Millenio. Iskak hanya mengangguk pelan. Syukurlah ia masih mendengar ucapan Millenio.

Ketika akan bertanya lagi, pesanan mereka datang. Dua piring nasi pecel dan teh hangat.

Millenio menatap nasi pecel sambil mengernyitkan alis. Benarkan ini bisa dimakan? Ia belum pernah makan nasi pecel sebelumnya.

Iskak agak geli memandang ekspresi Millenio yang seperti itu.

"Kenapa kamu memandang piringmu seperti itu? Ayo makan! Nanti keburu dingin," kata Iskak sambil mulai menyantap satu suapan. Millenio menoleh ke arah Iskak yang terlihat sangat menikmati.

Ia akhirnya menyerah dan memberanikan diri untuk menyantap makanannya. Ia menyuapkan satu sendok ke mulutnya dan memejamkan mata. Tak lama, ia membuka matanya lagi dan tersenyum sambil memandang nasi pecel itu.

Iskak ikut tersenyum melihat tingkah Millenio. Lagi-lagi ia kembali berpikir, apakah Millenio benar-benar bukan dari bumi?

"Bagaimana? Enak?" tanya Iskak.

"Hm! Lumayan ternyata. Setidaknya ini masih bisa dimakan," jawab Millenio sambil mengunyah makanannya dengan agak kaku. Iskak tertawa kecil sambil memandang Millenio lalu kembali ke makanannya.

Millenio menatap Iskak yang sedang menyendok nasi pecelnya. Senang rasanya bisa melihat Iskak ceria. Tapi kira-kira apa ya yang membuat anak ini cemberut tadi?

***

Millenio sedang menonton televisi di ruang tamu. Ia sangat senang dengan benda yang satu ini. Unik sekali baginya. Bisa menampilkan banyak manusia dengan berbagai kegiatan.

Di planetnya sana tidak ada benda seperti ini. Ia tadi sempat bertanya kepada Iskak, bagaimana bisa manusia sebanyak itu berada di dalam televisi sekecil ini? Tapi kata Iskak tidak ada apapun di dalamnya. Benda ini hanya menangkap siaran yang dipancarkan dari stasiun pemancar.

Millenio sendiri sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Iskak. Tapi ia hanya mengangguk dan pura-pura mengerti supaya tidak terlihat terlalu bodoh di depan Iskak.

Mengingat hal itu, Millenio jadi teringat Iskak. Sejak tadi sampai sore ini anak itu belum keluar dari kamarnya. Kenapa? Ada masalah apa? Apa yang sedang dipikirkan anak itu? Apa karena kejadian di warung tadi pagi? Tapi kenapa? Apa ia cemburu dengan laki-laki bernama Sanantha tadi? Apa Iskak menyukai gadis bernama Lovarin tadi? Sepertinya bukan hal itu.

Millenio jadi cemas sendiri. Ia ingin melihat keadaan Iskak. Bagaimana pun Iskak adalah tuan rumah di kontakan ini. Jika sampai terjadi sesuatu yang gawat pada Iskak, bisa repot juga.

***

Langit sore benar-benar indah. Cahaya mentari senja berkilau kuning menyinari langit dan beberapa gumpalan awan.

Tapi Iskak hanya bisa memandang semua itu dari jendela kamarnya. Benar tubuhnya sedang berada disana, tapi pandangannya kosong. Pikirannya berada di tempat lain.

Ia tidak lagi menghiraukan Millenio. Asal-usulnya, keanehannya, ataupun hal-hal lain tentang Millenio. Ia tidak peduli lagi hal itu.

Sekarang pikirannya sedang sibuk memikirkan Sanantha dan gadis bernama Lovarin yang sedang dekat dengannya. Perasaannya bertepuk sebelah tangan, bertepuk pada tangan yang penuh duri hingga membuatnya terasa nyeri yang luar biasa, seperti yang ia rasakan sekarang.

Iskak menghembuskan napas berat. Seperti bukan udara yang keluar dari hidungnya, melainkan asap hitam yang bercampur debu.

Tok! Tok! Tok!

Suara pintu kamarnya sedang diketuk. Pasti itu Millenio.

"Masuk saja! Pintunya tidak dikunci kok!" teriak Iskak dengan agak keras supaya bisa terdengar hingga luar kamar. Tetapi suaranya malah terdengar seperti seseorang yang sedang putus aja.

Pintu kamarnya terbuka dan kepala Millenio menyembul dari balik pintu.
"Boleh aku masuk?" tanya Millenio.

"Masuk saja," jawab Iskak. Millenio segera menutup pintu, berjalan ke arah kasur dan duduk di tepian.

"Kamu ada masalah?" tanya Millenio.
"Tidak," jawab Iskak. Ia tidak mungkin membeberkan kepada Millenio mengenai masalahnya.

"Kalau begitu kenapa dari tadi terus mengurung diri di kamar? Wajahmu juga terlihat murung. Benar kamu tidak apa-apa? Kamu sakit?" tanya Millenio. Iskak hanya tersenyum kecil pada Millenio.

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja kok. Sungguh," jawab Iskak. Tapi Millenio merasa tidak yakin dengan ucapan Iskak.

Baiklah. Sebaiknya ia harus menghibur Iskak supaya tidak selalu murung seperti ini. Apa yang bisa ia lakukan untuk memperbaiki suasana?

Tak lama, terlintas suatu ide di benak Millenio hingga membuatnya tersenyum. Ia berdiri dan menghampiri Iskak yang di meja belajarnya.

"Ayo! Ikut aku ke halaman belakang!" ajak Millenio sambil menarik tangan kiri Iskak.

"Halaman belakang? Memangnya mau apa ke halaman belakang?" tanya Iskak sambil mengernyitkan dahi.

"Nanti kamu tahu sendiri! Ayolah!"

Iskak agak malas untuk menggerakkan kakinya. Bahkan berdiri saja pun ia enggan.

"Aku di kamar saja," balas Iskak. Millenio berkacak pinggang. Anak ini kenapa sih? Bagaimana caranya supaya Iskak mau menuruti permintaannya?

Tiba-tiba saja kedua mata Millenio melebar sambil menjentikkan jari.

Ia membalikkan tubuhnya lalu berjongkok. Jarinya menunjuk-nunjuk punggungnya, mengisyaratkan supaya Iskak naik di punggungnya. Tapi Iskak malah geli melihat tingkah Millenio.

"Kamu kenapa?" tanya Iskak.

"Sudahlah! Kamu naik saja ke punggungku! Nanti aku gendong ke halaman belakang!" jawab Millenio.

Iskak menghela napas lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Baiklah! Baiklah! Tapi aku jalan kaki saja!" ujar Iskak menyerah.

[bersambung...]

Twinkle Twinkle (boyslove)Where stories live. Discover now