Bagian Satu - Secangkir Teh dan Segelas Kopi

182 6 1
                                    

Secangkir teh dan segelas kopi, berdampingan di meja bundar yang kecil itu. Asapnya mengepul, menjelaskan betapa dinginnya musim dingin di sore itu.

Lima tahun berlalu, dan seakan tak ada apapun yang berubah. Tehmu dengan setengah sendok gula, dia dengan kopi susu manisnya. Oh, betapa kau dahulu sering menggerutu padanya untuk mengurangi asupan gula, tapi tak pernah digubris olehnya. Kau tersenyum, mungkin memang tak seharusnya hal itu berubah.

"Bagaimana kabar Cici?" kau mendengarnya bertanya. Suara beratnya masih sama. Seakan kehidupannya selama ini tak pernah berubah. Seakan kalian berdua masih sama.

"Kau tak akan percaya betapa besarnya dia sekarang," jawabmu. Membayangkan putri kecilmu yang mungkin sekarang sedang asyik bermain dengan teman-temannya di sekolah.

Dia tertawa. "Benarkah? Sampaikan salamku padanya jika dia sudah pulang nanti."

Kau terkadang tak percaya, bagaimana bisa hubungan dia dengan anakmu terjalin sampai sedekat ini. Menjadikannya 'om favorit' bagi Cici-mu.

Dia masih seenergik dulu, menceritakan padamu kisah hidupnya pekan ini penuh antusias. Kau tak habis pikir dengan takdir. Tak pernah sebelumnya terbayang dalam benakmu bahwa sekian tahun berlalu kau akan berada dalam posisi ini. Dahulu, kau pikir kau akan ada dalam ceritanya--menjadikanmu orang yang diceritakannya, bukan orang yang mendengar ceritanya. Karena begitulah kalian sedari dulu. Menghabiskan waktu bersama. Tawa, kesal, bahagia, dan gundah bersama. Ditemani dengan secangkir teh dan segelas kopi.

Hingga suatu hari Sani datang dan mengubah stagnansi hidup kalian dengan dinamikanya. Ibumu berusaha menyakinkanmu untuk memilih lelaki itu, namun kau dan dia tetap bersama, dengan secangkir teh dan segelas kopi kalian. Semuanya tidak berubah, hingga dia pun akhirnya melepasmu dengan senyum.

Terkadang beberapa hal bisa berubah, tetapi sebagian yang lain akan tetap sama dari waktu ke waktu. Seperti sore hari kalian yang ditemani secangkir teh dan segelas kopi yang tak pernah berubah. Hingga kau menikah. Hingga akhirnya Cici lahir. Hingga akhirnya Sani tak akan selamanya ada, meninggalkanmu berdua dengan Cici.

Dia bilang dia akan menunggumu. Kau tersenyum. Hatimu lega. Tetapi saat itu kau belum mengerti bahwa sestagnan apapun hal-hal kecil di antara kalian, dia akan tetap berubah. Dan kata-katanya suatu saat nanti hanya akan menjadi kenangan masa lalu.

Kini dia punya hidupnya, dan kau punya hidupmu. Kalian tidak berputar dalam satu lingkaran yang sama, tetapi kehadiran secangkir teh dan segelas kopi akan selalu ada, membuat jarak yang terbentuk selama lima tahun itu terasa semu.

"Hati-hati," ujarmu, melepasnya untuk kembali ke kehidupannya lagi. "Sampaikan salamku untuk Melati."

Dia hanya tersenyum dan berangsur pergi.

Dan kembali, tujuh hari lagi. Dengan secangkir teh dan segelas kopi.

---

Secangkir Teh dan Segelas KopiWhere stories live. Discover now