Bagian Dua - Teh Rendah Gula

80 3 0
                                    

Ia sedang mengaduk teh dengan tenang, buku kecilnya tergeletak di atas meja tak jauh dari tangannya. Jika kau menyodorkan gula padanya sekarang, ia akan menolaknya dengan sopan. Atau mungkin ia akan memasukkan sendoknya ke dalam, sambil berdebat dalam hati seberapa banyak gula yang harus ia sendok untuk tehnya. Satu? Tidak. Setengah? Tidak. Dua? Tidak, tidak, tidak, itu terlalu banyak. Tenggorokannya bisa radang semalaman jika ia mengonsumsi gula sebanyak itu dalam satu cangkir teh saja. Dan pada akhirnya ia hanya akan mengambil setengah—atau tiga perempat sendok untuk tehnya.

Orang-orang di kafe itu sudah biasa dengan kehadirannya. Terdiam, sendiri tenggelam dalam dunia imaji yang digambarkan oleh buku barunya. Hampir semuanya tahu ia, tetapi juga tidak tahu siapa ia. Tetapi hal itu bukanlah hal yang penting baginya, karena pada dasarnya ia tak begitu suka dan nyaman berkomunikasi dengan orang lain. Sendiri saja sudah cukup baginya, tadinya ia pikir begitu. Hidup di dunia yang sama hambarnya dengan teh rendah gula yang ia minum sekarang.

Hidupnya selalu stagnan. Dengan segala rutinitas yang sama setiap pekannya. Awalnya ia nyaman-nyaman saja, hingga ia menangkap sorot mata cokelat yang mengerling padanya sore hari itu.

Mencurigakan, pikirnya saat itu. Mata cokelat itu masih memandanginya, sesekali meneguk entah-minuman-apa dari gelas hitamnya. Sepertinya minuman yang hangat, karena ia bisa mendengar si mata cokelat mendesah setiap kali ia meneguk minumnya. Teh kah? Sepertinya? Mungkin tidak. Siapa juga yang suka minum teh rendah gula yang hambar seperti favoritnya ini.

Oops, tak sadar, ia menunduk menyadari kelakuannya sendiri. Lihat siapa yang mencurigakan sekarang, gerutunya dalam hati. Benar saja, ia bisa mendengar si mata cokelat terkekeh pelan dari mejanya.

Ia meneguk habis tehnya, kemudian bangkit dan segera pergi. Lebih baik ia pulang daripada berlama-lama berada di situ. Toh, besok-besok ia bisa kembali kemari dan menikmati teh rendah gulanya—dan bukunya.

Sayangnya, setiap rabu dan sabtu sore mata cokelat itu selalu kembali ke kafe yang sama. Dan ia selalu merasakan pandangan yang sama dari sisi meja itu—dari si mata cokelat. Awalnya tiga meja dari tempat duduk favoritnya, tetapi kemudian menyempit menjadi dua, satu, dan kini mata cokelat itu duduk tepat di meja depannya. Mendadak membaca satu baris kalimat di buku barunya menjadi sesulit dan serumit membaca hieroglif kuil Ramses di Abu Simbel—yang bahkan ia sendiri belum pernah melakukannya dan tidak mengerti bagaimana caranya.

"Bisakah kau berhenti?" Ia akhirnya tak tahan lagi. "Kau membuatku tidak nyaman."

Mata cokelat itu tertawa. What. Tertawa?

"Oh, sorry," ujar mata cokelat kemudian, masih berusaha berhenti tertawa. Entah tertawa karena apa, ia tak mau memikirkannya, "Aku hanya bosan dan kau satu-satunya yang masih duduk di kafe ini. Aku baru di sini dan, well, sejujurnya aku masih mencari kenalan baru. Kau punya waktu?"

Jika si mata cokelat sebenarnya mencari teman bicara, mengapa tidak dikatakannya sedaritadi?

Hari itu, entah mengapa teh di cangkirnya tak terasa hambar seperti biasanya. Tak hambar, tapi juga tak manis. Mungkin karena perhatiannya teralihkan pada si mata cokelat yang ceriwis menceritakan segala hal padanya. Sekolah barunya. Kos barunya. Beasiswa yang katanya merepotkan dan melelahkan tapi terpaksa diambilnya. Semuanya.

Hari itu akhirnya ia tahu, gelas hitam si mata cokelat berisi kopi susu.

Dan hari itu pula, pertama kalinya ia harus berjalan kaki kembali ke rumah lewat dari pukul tujuh. Berjalan kaki melewati tujuh blok, empat belokan, dan sebuah taman sepi--sendirian. Beruntung si mata cokelat mau mengantarnya pulang. Dan memang sudah seharusnya, lihat karena ulah siapa ia jadi terlambat pulang, ujarnya pada diri sendiri.

Tiga pekan berlalu dan selalu di setiap sore dimana mereka bertemu, si mata cokelat akan selalu menyapanya dengan energik dan kelewat riang. Kemudian duduk di depannya dengan membawa segelas kopi di tangan kirinya. Kopi manis ekstra susu. Ugh, melihat busa-busa di permukaan kopi itu saja sudah membuat ia bergidik. Tak butuh waktu lama ia untuk tahu kebiasaan mata cokelat menambah dua sendok penuh gula ke dalam gelas kopinya. Setiap sore ia akan selalu menatap segelas kopi itu dengan nanar dan membayangkan hal tidak-tidak (misalnya membayangkan si mata cokelat meneguk segalon penuh air dengan frustasi karena tenggorokannya terasa sangat lengket, atau membayangkan si mata cokelat terkapar di kamar kosnya karena overdosis gula) sebelum akhirnya suara berat si mata cokelat mengalihkannya dari itu semua.

Mata cokelat selalu punya cerita yang menarik. Ia suka mendengarkannya bercerita tentang kehidupannya, meski hanya sesekali mendehem atau mengangguk. Ceritanya terasa lebih nyata dan lebih seru dibandingkan deretan paragraf rapi yang ada di dalam bukunya. Dan tak butuh waktu kurang dari tiga bulan untuk membuatnya lupa dengan buku-bukunya.

Orang-orang di kafe itu sudah terbiasa dengan mereka. Si teh dan si kopi. Datang dan menghabiskan sore hari dengan secangkir teh dan segelas kopi. Dan dari situlah, secangkir teh dan segelas kopi itu berdampingan di atas meja. Sejak saat itu hingga bertahun-tahun kemudian.

Secangkir Teh dan Segelas KopiOù les histoires vivent. Découvrez maintenant