Feeling

21.5K 822 48
                                    

Feeling

"Hal yang paling menyiksa dalam hidup ini adalah saat di mana kita berpisah dengan orang yang paling kita cintai dan sayangi."

°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°

Evander sampai di rumahnya, setelah memarkirkan mobilnya di dalam garasi, ia pun bergegas masuk.

Dengan langkah pelan ia menaiki satu persatu anak tangga menuju kamarnya di lantai dua. Evander memegang knop pintu lalu mendorong pintu ke belakang hingga terbuka. Kemudian berjalan masuk ke dalam. Dan lagi-lagi dia hanya bisa berdiri termenung di tempatnya.

Pikirannya kembali teringat tentang kebiasaan sosok seorang gadis yang sudah tidak ada di sampingnya lagi. Evander melangkah mendekat ke arah meja rias yang sering di pakainya untuk bersolek. Ia menelisik satu persatu, terlihat barang-barang itu sudah berkurang dan tak sebanyak dulu.

Jauh di dalam hatinya ia merasakan sebuah kehampaan. Evander lalu mendudukkan dirinya di atas kursi yang terletak di depan meja rias yang sering di duduki olehnya. Kembali ia mengingat kebiasanya, di jam seperti sekarang, saat ia pulang dari kantor dan masuk ke dalam kamarnya, ia akan menemukan sosok gadis itu yang sedang duduk di kursi mengeringkan rambutnya dengan hair dryer.

Evander lalu melepas jas kantornya dan berjalan menuju ranjang lalu duduk di tepiannya, "Sudah pulang? Bagaimana situasi kantor hari ini, Om?" itulah pertanyaan yang setiap hari di tanyakan oleh gadis itu.

Evander akan menjawab, "Baik." lalu ia akan balik bertanya padanya, "Bagaimana dengan harimu?"

Seperti itulah setiap harinya, tapi sudah lima bulan lamanya kebiasaan itu tidak pernah dilakukan.

"Kok diam? Om, capek ya?" tanya gadis itu lagi jika mendapati Evander tidak lekas menjawab pertanyaannya.

Gadis itu akan segera berdiri, menghentikan kegiatannya mengeringkan rambut untuk menghampirinya. Naik ke atas ranjang dan memposisikan tubuhnya tepat di belakang Evan. Tanpa di suruh gadis itu langsung memijat bahunya. "Biar capeknya Om berkurang." padahal Evan tahu gadis itu juga capek sama seperti dirinya. Karena gadis itu juga bekerja. Selain itu dia juga mengurus rumahnya.

"Evan," panggil Mama yang sudah berdiri tepat di sampingnya.

Evan terperanjat, ia lalu mendongak sedikit untuk menatap mamanya. "Ma," balas Evan.

Mamanya mengelus punggung Evan dengan penuh rasa sayang dan pengertian. "Merindukannya?" tanya Mama.

Evan menggeleng. "Tidak, hanya kepikiran saja, Ma."

Mamanya tersenyum. "Kamu mencoba bohong ke Mama, Van?"

"Tidak, Ma. Evan jujur."

Mamanya menggeleng. "Kamu tidak bisa membohongi Mama, Van. Kamu merindukannya kan?" Mama bersandar pada meja rias. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.

"Iya, Ma. Evan memang merindukan Evelyn."

"Sekarang kamu menyesali keputusanmu?"

"Maksud Mama?" tanya Evan yang masih belum mengerti.

"Apa kamu tidak ingat? Palu sudah di ketuk Evan. Dan dulu itu adalah pilihanmu, keputusanmu."

About Love and AgeOnde histórias criam vida. Descubra agora