Surat untuk Cupid

63.8K 5.8K 278
                                    

Melihat kesibukan Dilara yang mengarahkan telunjuknya ke kanan dan kiri saja sudah membuat Binar pusing. Tangannya sibuk mencoret-coreti buku catatannya, mencatat setiap kata yang terlontar dari mulut Dilara. Kelewat satu kata, Dilara enggan mengulang dan membiarkan Binar menahan diri tidak melayangkan tinjunya di udara. Bola matanya terputar ke atas, mencatat warna baju apa yang cocok untuk siapa. Nama sebaris model mengisi penuh buku catatan di genggaman Binar, lengkap dengan detail pakaian yang mereka kenakan untuk pemotretan.

"Satu model kita nggak bisa datang, Mbak Di," Lani yang turut sibuk mengurusi pemotretan mondar-mandir dengan telepon tanpa kabel di tangannya.

"Aaargh!" Dilara nyaris mengacak-acak rambutnya yang hari itu dibiarkan tergerai indah. Jemarinya melengkung membentuk cakar. Seandainya ada orang yang merelakan kulitnya menjadi korban, detik itu Dilara sudah menggesekkan kukunya sebagai pelepasan rasa kesal. Ia tak butuh nama model yang tidak dapat mengikuti pemotretan untuk promo produk yang hendak dilaunching, busana-busana rancangan desainer pilihannya yang telah jadi dan siap diluncurkan dalam peragaan busana. "Ada model pengganti?"

"Berambut hitam legam, kulit putih kemerahan, hidung kecil, kaki jenjang, mata bundar..." Binar membuka-buka profil model yang dimiliki Stilettale untuk menggantikan posisi model dari agensi lain yang tak dapat hadir. "Yang sesuai kriteria buat konsep Aphrodite nggak ada."

"God!" Kedua tangan Dilara terangkat ke atas. Ia mondar-mandir memikirkan jalan keluar, sementara para model sudah siap di depan kamera. Satu per satu dari mereka bergaya sesuai panduan fotografer. Bola mata Dilara bergerak secara teliti, menyoroti Binar dari puncak kepala hingga ujung kukunya. "Kamu jadi Aphrodite."

Binar membelalak ngeri, menunjuk dirinya sendiri. "Saya?"

"Iya kamu! Nggak ada waktu nyari model pengganti. Kamu saja yang ikut pemotretan."

Tidak diberikan waktu menangkis perintah Dilara, Binar didorong Lani ke ruang ganti dan segera ditangani penata rias. Ia berteriak-teriak mengatakan tidak pernah mengikuti pemotretan sekalipun. Mengabaikan raungan Binar yang semakin tak terdengar dan ditelan keramaian, Dilara melenggang anggun menghampiri fotografernya, ikut mengarahkan gaya para model.

Suara Binar masih terdengar keras di ruang ganti. Lani yang membantunya mempersiapkan pakaian meminta agar gadis tersebut menurut dan tidak banyak bicara.

"Foto selfie aja nggak pernah bener, kenapa aku disuruh jadi model?!" Binar berteriak semakin kencang.

"Husshh. Udah kamu nurut aja. Cuma bentar kok, nggak sampai lima menit!"

"Nggak sampai lima menit apaan?? Ngelihat model disuruh gaya-gaya kayak gitu aja udah bikin mules."

"Sebentar kok, Binar..."

"Aku nggak suka difoto!"

Tak mengacuhkan raungan Binar, Lani memaksakan gaun di tangannya pada tubuh Binar, kendati gadis tersebut tak henti-hentinya menggerutu seraya memanyunkan bibirnya ke depan seperti bebek.

Begitu gaun berwarna merah muda tersebut terpasang di tubuh Binar, Lani menggiringnya menuju meja rias. Penata rias dengan sigap memoles wajah dan menata rambut Binar sesuai konsep yang diperintahkan Dilara. Selama itu pula bibir Binar mencebik ke bawah, membayangkan dirinya berpose di depan kamera dengan gaya-gaya yang dianggapnya menjijikkan. Ia lebih baik melakukan pemotretan di tebing daripada pemotretan macam ini. Biarpun ia menerjunkan diri di dunia fashion, bukan berarti ia menyerahkan dirinya sebagai 'boneka' fashion. Binar lebih senang berkarya daripada menjadi boneka untuk karyanya. Ia menganggap model-model yang mengikuti pemotretan atau peragaan busana tak ubahnya manekin di toko pakaian.

STILETTALE (SELESAI)Where stories live. Discover now