Pita Merah Cindelara

56.2K 5.5K 1.4K
                                    

"Loh, Kana! Tambah cantik kamu!" Saka berseru girang. Ia menjabat tangan perempuan jelita di depannya.

"Thanks, Ka. Udah nikah?"

"Nikah apaan. Masih pengen sendiri."

Di tempatnya duduk, Erlangga hanya menanggapi dengan dehaman.

Kana Indica. Perempuan yang baru menyapanya benar merupakan secuil dari kenangannya beberapa tahun lalu. Setelah bertahun-tahun tak berkabar, kini keduanya dipertemukan lagi di sebuah kafe dalam keadaan canggung. Untuk memulai hubungan yang baik, Kana mengajak Erlangga mengobrol berdua sehingga dengan terpaksa Saka meninggalkan keduanya sambil mendengus.

Ah, setelah sekian tahun, wanita itu tak berubah. Mungkin perubahan yang membedakan, ia jadi terlihat lebih dewasa. Kana tetaplah Kana yang pernah dikenal Erlangga. Sahabat kecilnya yang selalu menemaninyas meskipun sempat terpisah sejak Erlangga dan Binar diasuh oleh Budhe Kanthi. Lantas bertemu lagi di kampus yang sama. Dan terpisah untuk ke dua kali. Kini, Tuhan telah menyambungkan benang yang sempat terputus di antara mereka.

"Aku dengar berita kamu," Kana menyeruput coklat panas yang dipesannya. "Kok nggak ngundang sih?"

"Nomor kamu udah nggak aktif."

Bibir Kana tercebik ke bawah. Mereka bersitatap selama beberapa detik.

Benar, wanita itulah yang namanya diabadikan dalam hati Erlangga selama bertahun-tahun. Sekaligus mengikis harapannya untuk ke sekian kali sejak ibunya pergi meninggalkannya. Melalui kedua mata perempuan itu kenangan seakan dikilas balik. Ia melihat dirinya bersama wanita itu dalam tubuh bocah berusia duabelas tahun. Saat ia bermain lego dan dihampiri Kana yang mempertanyakan pertengkarannya dengan Ares tempo hari. Gadis itu menemukan memar di tangan Erlangga dan menuduh Ares yang memukulnya. Erlangga enggan membalas selama beberapa saat sampai Kana beringsut pergi. Tangan gadis itu dicekalnya. Ia menengadahkan kepala mengiba.

"Jangan pergi dong," begitu yang diucapnya waktu itu.

Dan keduanya saling berbagi waktu. Seraya menunjukkan memar di tangannya, Erlangga bercerita bahwa ibunya yang memukul dirinya. Kana yang iba lantas mengajaknya pergi dan mentraktirnya es krim.

Begitu keduanya bertemu kembali di universitas yang sama, hubungan mereka erat kembali. Kendati disibukkan dengan kegiatan BEM, Erlangga tetap menomorsatukan Kana yang selalu meminta tolong padanya. Ia tak pernah meminta pamrih, seperti halnya Kana yang selalu ada di sampingnya tiap kali bermasalah dan jauh dari ayahnya.

Hingga suatu ketika, ia menemukan Kana menangis tersedu-sedu di tepi danau kampus. Dihampirinya gadis tersebut dan tanpa permisi, duduk di sebelahnya, mengelus bahunya untuk menegur. Kana masih enggan memandangnya. Yang dilakukannya hanyalah terisak-isak.

"Kana, kenapa kamu? Siapa yang jahatin kamu? Ngomong sini. Biar aku hajar."

Gadis itu menggeleng. Pada akhirnya ia bersedia membalas tatapan khawatir Erlangga dengan uraian air mata. Di tengah suara isak tangisnya, ia berbisik lirih, "Aku hamil, Ga."

Sontak saja jantung Erlangga seperti meloncat keluar dari rongga dada. Matanya membeliak terkejut.

"Reno lepas tanggung jawab. Dia ninggalin aku," lanjutnya, lantas kembali terisak membenamkan wajah pada telapak tangan.

Hampir-hampir Erlangga lepas kendali, melesat pergi mencari keberadaan cowok brengsek yang dengan kurang ajarnya menyakiti perempuan yang ia cintai, Kana menahan tangannya.

"Nggak usah." Gadis itu menggigit bibir bawahnya memelas. Tak tega melihat tatapan sayu dari kedua matanya yang digenangi air bening, pada akhirnya Erlangga kembali duduk. Ia merangkul Kana, membiarkan gadis tersebut menangis dalam pelukannya.

STILETTALE (SELESAI)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant