Intermezzo

64.6K 5.3K 350
                                    

Dari balik pepohonan rindang, Lara mengamati gerak-gerik Lian yang berlarian kecil menghampiri Arka ketika bocah tersebut tengah bermain futsal bersama teman-temannya. Gadis molek tersebut menyodorkan sesuatu pada Arka, spontan disambut sorak-sorai pemain futsal lain. Kedua bocah itu terlibat perbincangan yang agak lama, membuat jantung Lara jumpalitan, mereka-reka apa kiranya yang akan menjadi respon cowok pujaannya. Ia menyentuh dadanya yang berdebar, tersenyum-senyum membayangkan Arka menyukai barisan kata puitis yang diberikan padanya.

Lian berlari kembali ke tempat Lara bersembunyi. Gadis itu menyengir dan menunjukkan jempolnya, tanda bahwa surat yang dibuat Lara khusus untuk Arka telah sampai di tangan dan diyakini akan dibaca.

"Dia bilang apa?" Lara masih gelisah.

"Kelihatannya dia suka kok. Udah yuk."

Dahi Lara dikernyitkan samar. "Kamu bilang itu dari aku?" Ia menggigit bibir bawahnya, mengintip lagi sekadar melihat Arka yang kini melanjutkan permainannya.

"Nggak usah dipikirin. Kalau dia suka, nanti juga bilang kok."

"Aku nggak mau dia tahu yang ngirim suratnya aku. Kan malu..."

"Lah terus gimana kamu mau deketin dia. Kalau kamu nggak berani ngungkapin perasaanmu, bisa keduluan orang loh." Lian berkacak pinggang sembari memutar bola matanya. "Sekarang ke rumahku ya. Bantuin kerjain PR Bahasa Prancis dong."

Mengangguk, Lara mengekori Lian menghampiri dua sepeda mereka yang diparkir dekat pepohonan rindang, di tepi lapangan luas yang menjadi tempat bermain futsal. Sepanjang mengayuh sepedanya, Lara tak pernah melenyapkan senyum sumringahnya. Berdasarkan pendapat Lian yang berulang kali diucapkan padanya, seseorang yang ia sukai sejak pertama masuk sekolah tampaknya menaruh perhatian pula padanya. Diam-diam Arka menengok ke arahnya tiap kali melewati kelas mereka, kadang memberikan senyum.

"Jangan-jangan dia suka kamu?" suatu ketika Lara bertutur pada Lian, saat kedua gadis itu mengerjakan PR bersama.

"Alah, aku nggak doyan cowok populer. Aku yakin kamu yang disuka."

"Tapi tiap SMS aku, dia tanyanya soal kamu. Kalian juga kayak deket."

Lian terbahak kecil. "Oh... dia nawarin aku buat jadi model di perusahaan Papanya. Cuma sebatas itu kok."

Meski demikian, Lara percaya saja pada penjelasan sahabatnya.

Malam hari gadis tersebut membaca Le Petit Prince yang pernah dihadiahkan mendiang kakeknya. Komputernya yang masih dinyalakan berbunyi tanda pesan masuk di kotak pesan salah satu aplikasi chattingnya. Gadis itu meletakkan buku karangan Antoine de Saint-Exupéry di atas nakas dekat lampu duduk, kemudian menghampiri meja komputer untuk melihat siapa kiranya yang mengirim pesan malam-malam seperti ini.

darthvader: masih hidup neng?

Oh, teman ngobrol virtualnya. Alih-alih melanjutkan bacanya, Lara melarikan jemarinya pada keyboard untuk membalas orang asing tersebut. Herannya, mengapa ia peduli pada orang asing yang enggan memperkenalkan identitas padanya dan malah menjadikannya teman cerita? Sejujurnya, gadis itu percaya bahwa bercerita pada orang asing yang tak dikenal lebih dipercaya daripada bercerita pada orang yang ia kenal. Kendati mereka tak pernah saling mengenal dan membuka identitas, Lara bersedia menceritakan kesehariannya pada teman asingnya, demikian pula dengan bocah tersebut. Untuk mengakrabkan diri, mereka sepakat memanggil nama username masing-masing tanpa mempersoalkan identitas.

prada: hai! udah jarang online ya kamu? harusnya aku yang tanya, masih hidup, mas? lol

darthvader: biasalah, tugas-tugas kampus isinya makalah semua. gimana kabar?

STILETTALE (SELESAI)Where stories live. Discover now