Autocorrect

58.9K 5.4K 316
                                    

Kehadiran Ares di sana bagaikan bom yang siap diledakkan, begitulah yang ada di pikiran Erlangga. Lelaki itu memutar mata cukup jengah. Dipandangnya Ares yang mengamati keadaan sekitarnya. Keduanya bagaikan pion berbeda yang siap digerakkan. Kendati sadar kedatangannya tak akan pernah disambut dengan tangan terbuka, Ares tersenyum dalam cebikan mengejek. Ia memain-mainkan patung kesatria menunggangi seekor kuda di atas bufet.

"Tenang saja, aku tidak akan mengganggu kehidupan kalian." Nadanya terdengar diyakinkan, meski kaku dan baku. Ia memindahkan perhatiannya dari patung tersebut menuju Erlangga. "Aku tidak akan tinggal serumah dengan kalian. Santai."

"Ya, bagus," Erlangga menyahut cepat. "Kalau begitu, silakan pergi. Udah kelar kan sowannya?" Ia memasang senyum hiperbolis. "Binar nggak ada di sini."

Sepasang alis Ares terangkat diikuti sudut bibirnya yang tertarik ke bawah. "Oh, sibuk ya? Aku dengar dia kerja jadi asisten pribadi seorang desainer." Ia berdeham. Sikapnya berubah lebih berwibawa sekarang. "Aku juga mengikuti beritamu yang baru-baru ini. Aku tidak yakin kamu memberitahu kabar yang sangat krusial itu pada orangtuamu."

"None of your business. Ini masalah pribadi yang nggak patut kamu campuri, Ares."

"Oh. Oke." Ares mengangguk dan tertawa. "Sori. Kalau begitu, aku tidak akan banyak bicara. Kayaknya kamu butuh istirahat dan waktu lebih banyak untuk menyendiri dan barangkali berpikir dua kali mau melanjutkan sandiwara tolol itu atau tetap menjalaninya dan... entah apa yang akan kamu lakukan lagi. Semoga hal itu tidak merugikan istrimu kelak." Bahunya terkedik. Ucapannya membuat Erlangga makin muak. "Binar pulang ke sini?" Ares mengamati jam tangan.

"Dia bersama bosnya, calon kakak iparnya," tampaknya Erlangga sengaja menekan kalimat terakhir itu, "to prepare our wedding. It's coming soon." Ia menambahkan dengan senyum separo.

Sekali lagi, Ares mengamat ruangan tersebut. Sebelum berlalu pergi, ia menepuk pundak Erlangga beberapa kali.

"Aku pasti datang."

"Nggak datang juga nggak ada ngaruhnya."

"Jaga kesehatan." Ares mengedipkan sebelah mata, lantas melenggang melintasi ruang keluarga mengabaikan kerutan kening Erlangga yang kesal. Ia memutar badan, tidak lagi mendapati Ares yang telah lenyap di balik tembok.

Salah seorang pembantu rumah tersebut yang berdiri menundukkan kepala tak jauh dari jangkauan pandangan Erlangga menjadi sorotan. Ia menjentikkan jari memberi perintah pada perempuan paruh baya tersebut untuk mendekat. Dengan tundukan kepala dipenuhi rasa takut, perempuan tersebut melangkah perlahan menghampiri.

"Kenapa membiarkan dia masuk ke rumah ini? Siapa yang kasih ijin?"

"Tadinya saya sudah mengatakan kalau Tuan belum pulang, tapi dia minta diijinkan masuk. Katanya masih keluarga Tuan. Saya cukup yakin setelah melihat KTPnya. Nama belakang keluarganya Tunggadewa."

"Masih berani pasang nama keluarga rupanya," Erlangga menggumam jengah. Tanpa menambahkan sepatah kata, ia melangkah gusar, meninggalkan ruang keluarga.

*

Melihat gaun yang mulai dikerjakan oleh beberapa orang, Binar menggigit kukunya. Ia tak berani bertanya banyak, membiarkan Dilara memonopoli dengan segala instruksi—jangan lupakan bentakan dan teriakan melengkingnya. Wanita itu memeriksa dan memutari manekin yang telah memajang sebuah gaun pengantin sederhana yang tak memiliki banyak sentuhan. Dibandingkan dengan Kate Middleton pun gaun tersebuh lebih sederhana dan tidak neko-neko.

Puas dengan hasil pekerjaan anak-anak buahnya yang tidak membutuhkan waktu pengerjaan lama, Dilara tersenyum miring, lantas melenyapkannya detik saat Binar berdeham mendekat.

STILETTALE (SELESAI)Where stories live. Discover now