-- 30 -- Verge of Tears

13.3K 915 103
                                    

----------

Di bawah langit tanah Siberia, ditemani semilir angin bagai kristal es yang membekukan, kita kembali mencecap rasa bahagia. Sebelum semuanya hilang ditelan oleh rasa pedih yang membelenggu dalam lingkaran tak berujung.

----------

"Itu hanya akan terjadi di dalam mimpi terindahmu, Leonard Caradoc!"

Aku tertawa bersamaan dengan senyum yang menghilang dari wajahnya. Terlebih ketika ia sengaja mencubitku, menyentakkan dirinya dari rangkulanku. Hei, aku tidak setega itu dengan istriku sendiri. Ah, menyebutnya sebagai 'istri' seperti menghadirkan ribuan semut yang merayap memenuhi ruang pencernaanku dan menciptakan rasa geli yang menyenangkan.

Aku tidak pernah membeli bikini itu. Demi Tuhan! Kami sedang berada di belahan bumi di mana panas matahari tidak mampu memberikan sedikit kehangatan sama sekali. Dan aku tidak akan tega membiarkan istriku mati karena membeku.

Aku menarik lengannya saat ia akan berjalan mendekati danau. Aku mempercepat langkahku hingga kami sejajar. Dan kini, kami sudah berada di tepi danau, menikmati segala kesejukan alam dan pemandangan panomara yang sangat luar biasa. Kami duduk di atas batu yang cukup besar yang terdapat banyak sekali di tepi danau. Aku melepaskan sepatuku, mencoba mencelupkan kaki telanjangku di dalam air yang sangat jernih itu.

"Mau mencoba?" tanyaku pada Alanis yang seperti menahan rasa ngeri saat melihat kakiku masuk ke dalam air.

Ia menggeleng dengan yakin. Sambil menjauhkan kakinya. Aku tersenyum jahil dan mengambil air dengan tanganku dan tidak segan mencipratkan ke wajahnya.

"LEON!!! Itu dingin sekali!"

Seakan menulikan telingaku, aku terus mencipratkan air itu. Ia ingin beranjak berdiri untuk berlari menjauh, tetapi sebelah tanganku mencekal pergelangan tangannya sehingga ia tidak bisa pergi ke mana-mana.

"Hahaha!" aku tertawa lepas melihat Alanis yang mencoba untuk melarikan diri. Ah, rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan tawa selepas ini. Aku bahkan hampir lupa bagaimana rasanya tertawa. Tetapi perempuan di hadapanku ini sudah berhasil membuatku benar-benar melupakan iblis yang bercokol di dalam diriku. Dan aku mulai merasakan diriku yang sebenarnya kembali lagi ke permukaan.

Kedua tanganku kini sudah mencengkeram kedua kakinya, melepaskan sepatunya dan menuntun telapak kakinya untuk masuk ke dalam air. Aku tidak peduli bahwa saat ini kami menjadi pusat perhatian wisatawan-wisatawan itu. "Masih mau menolak?" tanyaku saat melihat ia terdiam menikmati air dingin yang berada di bawah telapak kakinya.

"Mengapa... mengapa aku merasa air dingin ini seolah menjalar ke seluruh tubuhku hingga kepalaku dan membuat aku merasa nyaman?"

Aku tersenyum dan kembali merangkul bahunya. Meletakkan kepalanya di bahuku. "Terkadang otak kita terlalu mempercayai apa yang kita anggap benar, tanpa mau tahu bagaimana kebenaran itu yang sesungguhnya."

Alanis mengangkat kepalanya dari bahuku dan memandangku dengan tatapan penuh arti. "Mengapa hari ini kau filosofis sekali?"

Aku terkekeh dan mengangkat bahu. "Lupakan," jawabku singkat. Aku tidak mau memperpanjang kalimatku barusan karena entah mengapa aku merasa aku sedang menyindir diriku sendiri.

"Leon... hmm... sejak kemarin aku ingin bertanya sesuatu padamu." Aku mengangkan sebelah alisku untuk mengisyaratkan kalimat 'ada apa?' padanya. "Apakah kau sudah merencanakan semua ini? Maksudku sejak pernikahan kita hingga saat ini seolah semuanya sudah tersusun begitu rapi dan terencana."

Aku mendesah pelan, memainkan helai-helai rumput panjang yang tumbuh di atas bebatuan. Apakah aku merencanakan semua ini? Aku sendiri tidak tahu. Jujur saja semua mengalir dengan begitu sempurna seakan Tuhan memang membuka jalan kami secara lebar. Saat mengetahui berita kematian mommy, aku tahu aku akan terbang ke St. Petersburg bersama dengan Alanis. Ketika aku meninggalkannya di dalam kamar mandi saat itu, aku hanya meminta tolong kepada Cyzerine untuk menghubungi ayahnya.

Alanis "a forbidden love"Where stories live. Discover now