Bab I : Shaki - There's A Place

229 2 2
                                    

"There's a place where i can go, when i feel low, when i feel blue, and it's my mind, and there's no time when i'm alone."(The Beatles)


"... ehm, gek (nanti) aku telepon lagi."

"Ibumu lagi, Shaki?" tanya Anya, teman sekelasku di kampus.

Aku hanya mengangguk kecil sembari memasukkan handphone ke dalam kantong rok."Iya.Susah ya kalau anak gadis dan orang tua LDR .Setiap ada kesempatan, pasti ditelepon.Padahal, aku tidak mau dikhawatirkan secara berlebihan."

Mata hitam Anya menatapku lurus, lantas ia memukul bahuku. "Namanya juga orangtua. Apalagi ini kali pertama kamu keluar dari Palembang, kan? Kamu di kota asing, sendirian, gadis pula. Orangtua mana pun pasti cemaslah."

Kaki-kakinya yang jenjang mulai bergerak menjauh dariku. Suaranya yang berkicau samar-samar mencapai gendang telingaku meski tak jelas apa yang ia katakan. Aku berusaha mengejar langkahnya dengan sedikit berlari. Ah, kadang aku merasa tak adil karena satu langkah Anya adalah tiga langkah buatku. Ditambah Anya sama sekali tidak peka kalau aku kesusahan berjalan di sampingnya.

"Eh! Gimana dengan tempat kos yang kurekomendasikan itu?"

Kini Anya berhenti dan menoleh. Dengan raut heran ia melihatku. "Kenapa ngos-ngosan begitu?Memangnya mengejar sesuatu?"

Dia benar-benar orang yang tak peduli keadaan sekitar.

"Tempatnya bagus.Oke.Pemilik rumahnya juga baik. Tapi, aku belum terlalu mengenal penghuni kos lain, gara-gara urusan kuliah."

Bibir Anya membentuk huruf O dan kepala lonjongnya mengangguk-angguk."Sayang sekali kita nggak bisa satu tempat kos.Padahal aku sudah punya banyak rencana denganmu loh.Ya misalnya, ketika ada tugas kita bisa kerjain bareng atau kamu yang kerjain aku yang copas .Waktu ujian kita bisa belajar bersama alias kamu ngajarin aku, lalu saat makan bisa kamu masakin.Aku suka pempek Palembang loh."

Sejauh yang kutangkap dari kata-kata Anya, semua menguntungkan dia dan sepertinya agak tidak menyenangkan untukku.

"Oh ya.Ada cogan di kosanmu itu," lanjut Anya.Mata almond-nya kini tampak berbinar-binar. Ah, radar urusan cowok milik Anya telah aktif.

"Sewaktu aku survei kos untukmu, temanku yang sudah selesai kuliah di ITB menawarkan kosannya. Terus, waktu aku ke sana, muncullah sosok keren nan karismatik bak pangeran antah-berantah."

Bibir tipis Anya menyunggingkan senyum aneh, lalu ia kembali bercerita. "Sepersekian detik aku terpana.Tersentak.Mataku teralihkan.Dunia menuju hanya padanya.Waktu aku sadar, ia hilang."Anya berlagak sok puitis, meniru Kahlil Gibran.

"Hantu dong?"

Mendadak Anya mendengus."Mana mungkin hantu segitu kerennya.Hantu di Indonesia mahnyeremin. Coba aja lihat, kuntilanak, sundel bolong, mak lampir, pocong, genderuwo, tuyul. Mana ada yang keren! Ya, kecuali hantunya luar negeri, seperti vampir atau drakula. Apalagi Edward Cullen. Kyaaa!"

Kata-kata Anya berhasil memancing senyumku.Pendapatnya benar juga. Hantu luar negeri keren-keren meski tetap saja aku tak akan menerima hantu apa pun alasannya.

"Eh, mungkin saja cowok itu adalah hantu Belanda!" seruku saat pandangan mata ini menangkap keindahan bangunan-bangunan tua di kampus tercinta yang bergaya belanda."Kalau hantu luar negeri itu keren, bukankah itu artinya hantu Belanda yang ada di Indonesia juga keren?"

"Nggak mungkin hantu Belanda.Wajahnya aja asli pribumi.Nggak ada belanda-belandanya."

"Ehm, sayangnya, aku nggak terlalu memperhatikan apakah ada cogan atau nggak di kosku.Setahuku ada dua cowok tapi aku belum pernah ketemu mereka."Lagi-lagi Anya menghentikan langkah dan melirikku nakal, seolah menggodaku untuk berkenalan dengan mereka serta ikut mengenalkannya ke cowok-cowok itu.

Yesterday in Bandung [PREVIEW- TERBIT di TOKO BUKU]Where stories live. Discover now