Bab II : Zain - Yesterday

89 2 0
                                    

"Love was such an easy game to play." (The Beatles)

Semester yang sangat membosankan. Kuliah gila-gilaan, semua terasa payah dengan kegiatan yang lumayan banyak. Gua pulang dengan membawa ribuan wajah kusut. Motor butut kesayangan jadi sebelas dua belas dengan pemilik. Memanggil satu persatu penghuni kos tapi tak ada yang menyahut. Sepi. Kunci pintu kamar sudah diputar dan mata tertuju pada gitar di samping meja komputer, tapi bola basket memanggil di dekat tiang lapangan membuat hati gua meledak. Gua lempar tas dengan sembarang. Lima langkah besar, lalu bola sudah ada di tangan dan gua siap bertempur ... frustrasi melanda.

"Zain bintang basket dunia, kini menerima passing bola dari temannya. Secepat kilat dribbling ke arah keranjang, wow! Saudara ... saudara! Lay up shoot yang sangat sempurna! Satu kosong pertandingan dimulai dengan pemanasan yang sangat memukau!" teriak gua mengikuti gaya komentator basket seperti dalam pertandingan tingkat dunia. Bermain basket dengan gaya seolah pemain banyak. Sayang seluruh penghuni tak tahu ke mana rimbanya. Peluh mulai mengalir dan hawa panas mulai menjalar. Gua nggak nyadar dalam salah satu kamar ada yang sedang menangis. Beberapa menit bahkan sampai hampir satu jam gua asyik bermain sendiri. Gua terdiam sejenak, menajamkan pendengaran, lalu melangkah ke arah kamar Shaki.

"Uyyy! Gua kira kuntilanak. Ngapain lo?" Gua cengengesan dan tangan mengacak-acak rambut yang banjir keringat.

Shaki terkejut dengan suara keras tepatnya teriakan. Buru-buru menghapus air mata.

"A-aku ... tadi mimpi nangis, ma-maaf...." Terbata-bata Shaki menjelaskan tentang kebohongan yang sengaja dirancangnya. Sayang, Zain terlalu lihai untuk dibohongi.

"Udah, jangan mewek aja, mata lo jadi jelek mirip sama ikan koi. Keluar tu! Mending nguras kolam ikan kesayangan lo kek! Apa masak mi kek! Gua laper nih." Gua terkekeh dan berlari kembali sebelum kena omel. Ajaib, Shaki menurut kemudian mengikuti ke lapangan, jongkok bersandar di dekat kolam. Gegara suara tangis antah-berantah jadi mengurangi keasyikan main basket ala superstar. Hmm ... baju udah basah semua sama keringat, buka ah! Panas.

"Nah gitu. Jangan mewek aja. Emang yang kangen sama orang rumah lo doang? Eh, gimana? Gua keren, kan?"

"Keren?" Shaki kebingungan.

"Ah, lo nggak normal, ya? Ya ... ya gua keren! Masa iya Mang Sosro tukang baso yang keren?" Bibir kanan atas gua angkat berpura-pura tak suka dengan kepolosan Shaki. Tapi, cewek dengan mata bengkak mirip ikan koi depan gua malah tertawa terpingkal-pingkal.

"Wooow! Bahasa apa tuh 'keren'? Nggak cocok untuk seorang Zai-nu-din!" Tawanya semakin keras sambil memegang perut. Gua bengong. Sambil berlari kecil, gua pura-pura menjitak kepala Shaki.

"Aduh! Sakit. Tapi, tingkat kepedeanmu nomor satu Zain!" Shaki menjulurkan lidahnya.

"Dari mana tau nama panjang gua? Awas, jangan ember ya!" Gua pura-pura tegas, kemudian meringis memegang perut.

"Uh! Aku jadi nggak mood masak."

"Mi aja, pleaseee!"

"Mana mi-nya?"

"Pake punya lo dulu, ya? Ntar waktu kiriman nyampe, gua ganti." Berharap dengan beberapa kali kedipan, Shaki akan berbaik hati. Dan benar saja, ia lalu hanya tersenyum lalu pergi ke dapur.

Gua lari ke dalam kamar, meraih gitar. Duduk di kursi taman yang mengarah ke teras dan dapur. Shaki ini boleh juga dalam pikiran gua sebagai cowok normal. Dia cewek kekanakan, polos, dan manja. Wajahnya mungil dengan alis yang indah, tapi tidak seksi dan kurang sensual. Dada hampir rata. Kelebihannya hanya satu, ia berasal dari keluarga kaya. Sadar diperhatikan, Shaki balik ngeliatin dengan mata tanda tanya, gua berhenti memperhatikannya. Jemari langsung memainkan gitar senar kesayangan.

Yesterday in Bandung [PREVIEW- TERBIT di TOKO BUKU]Where stories live. Discover now