Partner For Life - Part 28

2.3K 75 0
                                    

Sabtu, 17 Januari 2015 ( 20:00 WIB )

Jalan Hagya Sopia, Yogyakarta

Rumah Sakit Permata Hijau, Yogyakarta


Di kamar rawat Cakka...

Shilla sedang duduk di kursi samping ranjang yang ditempati oleh seorang pemuda tampan yang sedang koma. Cakka. Gadis itu duduk sejak lima menit yang lalu. Tadi sore Shilla memang sempat pingsan, dan kini ia berniat untuk selalu menunggu dan menjaga Cakka yang sedang terbaring koma. Shilla terdiam memandang tubuh tegap Cakka yang terbaring lemah terpejam di ranjang. Alat – alat bantu medis begitu banyak terpasang di tubuh tegap Cakka. Selang infus dan juga selang aliran darah terpasang rapi di tangan pemuda yang Shilla cintai itu. Pendarahan yang dialami Cakka membuatnya membutuhkan transfusi darah.

Shilla dapat melihat dengan jelas bahwa dada bidang Cakka dibalut oleh perban yang menutup luka operasinya. Luka di dada itu masih rawan, dan perban – perban itu membalut dadanya dengan rapi sehingga Cakka belum bisa dipakaikan baju atasan. Dokter membiarkan dada Cakka telanjang karena luka di dadanya masih mengkhawatirkan. Hanya sebuah selimut tebal berwarna putih yang menutup sebagian tubuh tegap itu.

Apalagi dengan penyakit asma parah yang diderita Cakka pun membuat keadaannya semakin mengkhawatirkan dan sangat kritis. Asma yang selama bertahun – tahun dideritanya itu membuat paru – parunya lemah, dan kini dengan luka tembak di dada yang dialaminya pun menambah penderitaan bagi seorang Cakka. Mungkin saja jika Cakka diminta untuk memilih, pemuda itu lebih memilih mati daripada hidup dengan alat- alat bantu medis di tubuhnya dengan mata terpejam, tubuh yang terbaring diam dalam kondisi antara hidup dan mati.

Selain perban putih yang membalut dada pemuda tampan itu, kabel – kabel medis juga terpasang di dada bidang Cakka terhubung dengan alat monitor detak jantung. Shilla melihat ke arah monitor jantung itu, garis zig zag tidak beraturan masih terlihat di sana. Monitor detak jantung itu mengeluarkan suara yang terdengar menyedihkan dan miris. Namun, menandakan bahwa Cakka masih hidup, jantungnya masih berdetak lemah meskipun kondisinya koma.

Kemudian, kedua mata Shilla kembali memandang tubuh tegap Cakka, ia memandang wajah pucat Cakka. Mata sayu itu terpejam erat. Mulut dan juga hidung mancung Cakka tertutup oleh masker oksigen yang dikenakannya sebagai alat bantu pernafasan. Suara tarikan dan hembusan nafas Cakka terdengar di dalam masker oksigen yang dikenakannya itu seiring naik turunnya dada bidangnya dalam menarik dan menghembuskan nafasnya. Masker oksigen Cakka pun terlihat berembun.

"Cakka." panggil Shilla kepada sosok tubuh tegap yang terpejam terbaring dengan alat – alat medis di ranjang putih itu. Sama sekali tidak ada jawaban dari Cakka, sosok tubuh tegap itu tetap diam terpejam.

Shilla tersenyum miris melihat kondisi laki – laki yang sangat dicintainya koma seperti ini. Untuk waktu yang lama, ia ingin selalu mendengar suara desahan nafas Cakka di dalam masker oksigennya. Shilla sama sekali tidak ingin suara nafas Cakka itu berhenti dan hilang dari balik masker oksigen itu. Shilla tidak peduli kalaupun saat Cakka sudah sadar dari komanya nanti harus tetap mengenakan masker oksigen, yang penting Shilla ingin Cakka tetap hidup dan dapat selalu mendengar suara nafas Cakka di dalam masker oksigennya.

Shilla menggenggam tangan Cakka dengan satu tangannya, ia merasakan dingin dari tangan itu. Dan Shilla berharap bisa mentransfer kehangatan pada tangan dingin pemuda tampan yang dicintainya itu. Sedangkan tangannya yang lain kini sedang bertahta membelai rambut Cakka dengan lembut.

"Cakka, ini aku, Shilla. Aku, gadis yang empat hari ini nemenin kamu. Aku, gadis yang udah bilang cinta dan sayang ke kamu. Aku, gadis yang kamu lindungi. Kenapa kamu harus seperti ini lagi? Kenapa kamu harus terbaring koma seperti ini lagi, Kka? Harusnya... harusnya aku yang kena tembakannya Rio. Harusnya aku, bukan kamu, Cakka. Bukan kamu! Kenapa tadi siang kamu harus melindungi aku dari tembakan Rio? Kenapa, Kka? Kenapa kamu nggak biarkan aja peluru itu ke tubuh aku? Aku nggak mengharapkan seperti ini, Kka. Kalau udah begini, kapan kamu mau bangun, Cakka? Kapan kamu mau sadar? Cakka! Bangun, Kka! Bangun!" ujar Shilla dengan air mata mengalir di kedua pipinya. Kini satu tangannya yang tadi menggenggam tangan Cakka pun beralih mengguncang tubuh tegap Cakka yang terbaring koma itu. Sedangkan tangannya yang lain masih membelai rambut Cakka. Shilla mengguncang tubuh Cakka seraya ingin membangunkan laki – laki itu. Tidak ada respon sama sekali dari Cakka. Tidak ada. Matanya masih terpejam, meskipun ia bernafas di balik masker oksigennya.

Partner For LifeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora