Prolog

704 52 4
                                    

Seorang pemuda berambut coklat tengah duduk di ruangan kamarnya yang mewah menatap sedih dunia luar dari dekat jendela. Pintu berderit, lalu langkah kaki terdengar mendekati dirinya. Tetapi anak lelaki itu tidak bergeming, posisinya pun tidak juga berubah.

Suara langkah itu terhenti, suara khas pria dewasa mulai terdengar, "Kau tidak menyentuh makananmu lagi, Ian?"

Pemuda yang dipanggil Ian itu hanya terdiam tidak menggubris, posisinya masih sama seperti tadi, diam dengan tangan menopang dagunya. Tatapan matanya kosong.

Pria itu menyentuh bahu Ian yang membuatnya tersentak dan menoleh. Pria tadi melonjak kaget. Keadaan Ian mengerikan. Rambut coklatnya terlihat berantakan, wajahnya pucat dan terlihat kantong matanya yang menghitam menghiasi wajah itu.

"Sudahlah, jangan membuat Papa khawatir denganmu." pemilik suara yang ternyata adalah Papanya terdengar putus asa dan memohon.

Ian menggeleng, "Bukannya dia adalah jodohku!?" suaranya kering dan setengah memekik "Kenapa gadis itu ... bersama makhluk payah yang jelas-jelas derajatnya sangat rendah di bawah kita itu!?" teriak Ian marah. Mengacak-ngacak rambutnya, frustasi.

Air muka Papa menjadi tenang kemudian membisikkan sesuatu ke telinga Ian. Mata Ian membulat.

"Papa yakin?" tanyanya setelah selesai mendengarkan bisikan Papa.

"Apapun bisa Papa lakukan, asal Papa dapat melihat senyummu lagi dan gadis itu menjadi milikmu seutuhnya."

Mata Ian berbinar-binar, senyumnya mengembang.

"Sekarang makanlah dan janganlah membuat Papamu ini khawatir denganmu lagi."

Ian mengangguk senang. Senyumannya masih tercetak di wajahnya. Kemudian iris coklatnya menangkap sepiring makanan yang sudah dingin di sebelahnya. Ian sangat lapar, sudah 4 hari ini ia tidak makan. Pemuda itu selalu membuang makanan yang diantar ke kamarnya.

Papanya merasa lega dan bersyukur melihat anak sulungnya makan dengan lahap. Raut mukanya tenang, tidak berkerut lagi karena cemas. Tiba-tiba pintu terbuka perlahan. Menampilkan seorang anak kecil yang juga berambut coklat masuk ke kamar Ian sambil memegang model pesawat terbangnya. Langkahnya kemudian terhenti melihat pemandangan di depannya. Wajah tampan anak kecil berumur 5 tahun itu menjadi senang.

"Kak Ian sudah mau makan, Pa?" tanyanya tidak percaya, tetapi wajahnya tetap sumringah.

Papa mengangguk sambil membelai pucuk kepalanya, "Jangan ganggu kakakmu dulu, ok? Mainlah kembali dengan Al." bocah itu mengangguk patuh.

"Hati-hati, Ael" lambai Ian masih dengan senyumannya ketika anak yang dipanggil Ael itu sampai di depan pintu. Ael membalas lambaian kakaknya dengan semangat. Lalu pintu tertutup.

*-*-*-*-*

Kelas sedang ribut. Guru yang seharusnya mengajar tidak datang karena sakit sedangkan guru pengganti yang lain juga tidak ada. Suasana benar-benar kacau meskipun mereka sudah diberi tugas.

"Bagaimana cara mengerjakan ini? Mungkin agar cepat selesai aku lihat punyamu, ya?" tanya seorang pemuda kepada gadis yang duduk di sebelahnya.

Gadis itu memutar bola matanya kesal, "Huh! Kerjakan saja sendiri!" meski gadis cantik itu mengatakan kalimat seperti itu, ia tetap menyerahkan buku bersampul kulit kayunya kepada pemuda tadi.

Pemuda itu pun tertawa lepas. "Dasar, kamu marahpun tetap saja cantik." wajah gadis yang sedang merengut itu seketika memerah karena malu.

Seseorang di ujung sana menatap sinis kepada mereka dan berdecak kesal. Menahan amarah yang sudah berada di ubun-ubunya. Tetapi tidak juga menyembunyikan seringaiannya.

The Leaves Prince [COMPLETED]Onde histórias criam vida. Descubra agora