Chapter 3 : Masih Menunggu

3K 260 0
                                    

Hari ini seperti biasanya meeting dengan klien selesai jauh lebih lama dari yang ia rencanakan. Dan lagi-lagi Dira terpaksa harus merelakan tubuhnya untuk berkonsentrasi lebih lama lagi. Mengurangi jam istirahatnya hari ini. Dirinya yakin tidak akan sanggup jika harus menyetir sendiri untuk pulang menembus kemacetan Jakarta yang belum tentu mereda meskipun malam semakin larut. Sudah dua hari dirinya menginap di hotel, dan hari ini sesungguhnya ia sudah berjanji akan pulang ke rumah. Tapi sepertinya menginap di hotel sehari lagi adalah hal yang paling rasional yang sanggup ia lakukan saat ini. Untuk kalian yang mungkin bertanya-tanya, Dira bekerja sebagai Manager Public Relation di Royal Pasific Hotel – salah satu hotel di Jakarta yang juga memiliki beberapa cabang di Indonesia. Jadi tentu saja dirinya punya privilege untuk menginap disini.

"Iya Ma, maafin Dira ya. Besok Dira pulang, janji deh gak akan menginap di hotel lagi. Oke Ma, love you." Diakhirinya sambungan teleponnya dengan sang ibunda. Wanita yang masih dibalut blouse kerja lengkap dengan heels beige 9cm kesayangannya melemparkan tubuhnya sendiri di atas sebuah King Bed yang terlihat sangat nyaman.Kakinya terasa kebas akibat menggunakan sepatu hak tinggi hampir 10 jam. Kehidupan macam apa yang ia jalani? Sungguh jauh dari kata hidup sehat.

Kedua manik matanya menatap ke atas langit-langit kamar hotel yang ia tempati saat ini. Kamar hotel di lantai teratas – lantai 21, kamar favoritnya jika tidak ditempati oleh tamu manapun. Kamar yang secara bersamaan menyembunyikan memori kesedihan dan memori kebahagiaan dirinya kala itu. Miris memang kedua momen itu nyatanya berada di tempat yang sama. Membuat dirinya tenggelam ke dalam distorsi kenangan yang silih berganti.

Dira mencoba menahan emosi yang berkecamuk di kepalanya, membuat tangannya bergetar hebat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dira mencoba menahan emosi yang berkecamuk di kepalanya, membuat tangannya bergetar hebat. Jika diibaratkan ledakan, dirinya benar-benar sudah luluh lantak menjadi serpihan tak berharga. Ia sudah tak mampu berpikir lagi setelah mendapati kenyataan yang baru saja didengar dari mulut dua orang yang entah bisa dibilang apa lagi – kepercayaannya.

" Aku benar-benar tak ingin menyakitimu lagi Dir," itulah yang sejak tadi diucapkan Restu padanya, sedangkan Dania hanya terus meneteskan air mata tanpa mampu mengatakan apa-apa." Mungkin kamu tak akan bisa memaafkanku tapi maafkanlah Dania. Persahabatan kalian jauh lebih berharga Dir. Maafkan Aku kumohon."

Dira tak mampu menjawabnya, lagipula jawaban apa yang harus ia berikan? Terima kasih sudah berselingkuh dengan sahabatku atau terima kasih karena sudah mengambil tunanganku atau selamat, semoga hubungan kalian berhasil. Itukah yang harus dirinya ucapkan? Kalian bercanda!

" Pergi dari hadapanku sekarang sebelum aku meminta security mengusir kalian. Sungguh." Dira menatap tajam kedua manik mata pria yang di dahinya sudah ia labeli denga label pria ter-brengsek abad ini. Dira meyakinkan dirinya sendiri bahwa detik ini juga tak akan pernah ada lagi hal kasat mata bernama cinta. Tidak akan pernah.

" Dan satu lagi, aku tidak pernah punya sahabat sepertimu, Dania." Wanita yang sudah sangat geram ini mengucapkannya dengan suarayang sarat emosi ketika dua orang yang tadinya berada di hadapannya sudah melangkah menjauh.

Setelah yakin mereka sudah tak terlihat lagi, tubuhnya yang tadinya tegak menjadi luruh bersama dengan air matanya yang jatuh tak terhenti. Menahannya sedari tadi membuat dadanya terasa begitu sesak. Sangat sesak. Makan malam ini harusnya menjadi makan malam yang menyenangkan bersama sahabat dan calon suaminya. Sedangkan yang terjadi sekarang benar-benar bencana, bagaimana tidak? Tunangannya, yang 7 bulan lagi akan sah berganti status menjadi seorang suami berkata kalau dirinya mencintai sahabat terdekat Dira dan sudah menjalani hubungan selama 6 bulan terakhir. Pengkhianatan terbesar dalam sejarah hidupnya.

Ia sudah tidak peduli dengan beberapa pengunjung lain yang mungkin sadar akan keadaannya saat ini. Tolong, biarkan saja dirinya begini sampai ia merasa tenang. Tapi masalahnya, ia sendiri tak yakin apakah bisa dirinya tenang sekarang. Sanggupkah ia melangkah dari tempat ini? Tangannya yng masih bergetar meraih handphone dari dalam sebuah tas tangan, entah apa yang sedang ia pikirkan.  Yang dirinya tahu saat ini mungkin hanya orang itu yang bisa dirinya ajak bicara.

" Alindira kamu kenapa? Kamu ada dimana sekarang?" Seperti biasa, pria itu lebih suka memanggilnya selengkap itu. Tentu saja si suara di seberang sana terdengar khawatir. Bagaimana tidak?  Dirinya meneleponnya dengan suara sesenggukan tak bernada. "Maafkan aku menyusahkanmu."

Bohong jika dirinya tadi mengatakan kalau hanya orang itu yang bisa ia ajak bicara. Toh sekarang setelah pria itu datang, Dira hanya mampu menenggelamkan wajahnya dibalik kedua telapak tangan dan meneruskan tangisan yang rasanya memang enggan terhenti. Jangankan untuk berbicara, mengatur nafas saja terasa sulit ia lakukan. Tapi dirinya yakin kalau ia memang bersama dengan orang yang tepat, pria ini yang ada di debelahnya sama sekali tidak melontarkan protes ataupun mendesak dengan sebuah penjelasan. Pria ini hanya berdiam diri menemaninya dan duduk diam di balik kemudinya, membiarkan Dira bercengkrama dengan dirinya sendiri dalam diam. Namun tatapannya tak bisa dibohongi, ada gurat kekhawatiran yang begitu kentara disana.

" Jadi, bisa aku antar pulang sekarang?" Tanyanya saat tangisan Dira mulai reda. Dira hanya menjawabnya dengan menggeleng sekali. " Lalu mau aku antar kemana? Rumah sahabatmu mungkin?"

" Satu-satunya orang yang pernah jadi sahabatku kini menusukku dari belakang," Dira mungkin membuatnya bingung dengan berkata begini. " Antar aku ke hotel saja Ren, Aku akan menginap disana."  Saat ini hanya itu tempat persembunyian terbaiknya. Sanctuary-nya.

Dira jatuh terduduk tepat disamping ranjang hotel yang masih tertata rapi, air matanya kembali menetes

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Dira jatuh terduduk tepat disamping ranjang hotel yang masih tertata rapi, air matanya kembali menetes. Sesungguhnya ia menyesal, mengapa harus menangisi pria yang begitu kurang ajar sebanyak ini," Restu berselingkuh dengan sahabatku dan dia memutuskan pertunangan kami. Jika kamu ingin tahu kenapa aku begini."

" Kamu tidak perlu bercerita Dir, jika itu menyakitimu. Lebih baik kamu istirahat." Pria itu membantu dirinya untuk berdiri dan membaringkannya di atas tempat tidur. Menyelimutinya, mungkin juga berharap agar Dira cepat terlelap dan melupakan kesedihannya. Wajahnya terlihat begitu tersiksa melihat wanita dihadapannya seperti ini. Tapi pria itu sama sekali tak protes. Kenapa kamu begitu baik?

Keesokan paginya , Dira terbangun seorang diri. Tak ada siapa-siapa, pria yang menemaninya semalam telah pergi. Kepalanya terasa begitu pusing. Ia kemudian mengingat apa yang terjadi semalam. Pria ini yang menemaninya sampai dirinya tertidur dari ujung sofa. Ya, ia tidur di sofa demi menemani seorang Dira. Mungkin ia takut kalau DIra bertindak bodoh seperti mengakhiri nyawanya karena terlanjur sakit hati, seperti cerita yang banyak beredar di berita kriminal.

" Maaf tidak membangunkanmu. Makanlah setelah kamu bangun, aku yakin kamu belum makan apa-apa semalam. Oh iya, itu ada handuk dan es batu. Aku rasa matamu membutuhkannya." Itulah tulisan yang tertera di sebuah kertas yang ia selipkan di nampan sarapan pagi ini. DIra hanya bisa bersyukur karena telah menghubungi orang yang tepat. Terima Kasih Reno.


" Reno. . ." Dira kembali mengucapkan nama yang lama sekali tak ia ucapkan. Ia mengalihkan pandangannya menuju sisi kiri jendela kamar ini dimana terhampar cahaya kota Jakarta dari ketinggian. " Masihkah kamu menungguku Ren?"

_*_*_*


Let's (not) Fall in LoveWhere stories live. Discover now