Part 7 - Tinggal Bersama

165K 9.8K 67
                                    

Vote and comment ditunggu yaahh :* :*

Thankyouuu :D

--------------------------------------------------

Rei sebenarnya tidak tega membiarkan cewek itu tidur di sofa. Tapi mengingat perkataan cewek itu saat mereka dalam perjalan ke rumahnya, membuat Rei sangat keki. Cewek itu memang selalu berhasil membuat emosinya terpancing. 

Karena itu, untuk meredamkan sedikit kekesalannya, Rei pun memutuskan untuk pergi ke rumah Rega. Saat dirinya keluar dari kamar, Rei mendapati Fani sudah tertidur di sofa. Cowok itu kemudian menghela napas. Hatinya benar-benar tidak tega. 

Tapi perasaan itu saja tidak cukup untuk membuat cowok itu merubah keputusannya. Karena itu Rei tetap berlalu dan meninggalkan Fani yang masih tertidur.

Hanya dalam waktu dua puluh menit, Rei sudah sampai di rumah Rega. Dia pun langsung masuk ke kamar Rega saat adik dari sahabatnya itu membukakan pintu untuknya. 

Ketika masuk ke kamar Rega, cowok itu mendapati Rega sedang menelepon seseorang. Dirinya jelas sudah tahu siapa yang ditelepon oleh Rega. Karena itu, dia malah dengan santainya berbaring di tempat tidur sahabatnya itu.

"Yaudah. Kamu jangan lupa makan ya. Bye, Honey."

Mendengar Rega berkata seperti itu membuat Rei seketika mendengus geli. Tanpa sadar dia bertanya dalam hati. Apa gue juga kayak gitu ya?

"Tumben banget lo kesini?" pertanyaan Rega membuyarkan lamunannya.

"Gue lagi bingung nih."

Rega mengerutkan keningnya sambil berjalan mendekati Rei. "Semenjak lo bikin permainan ini, kayaknya nggak ada hari lo nggak bingung deh."

Rei hanya mencibir dan tidak menghiraukan tanggapan dari cowok itu. "Kalo gue kasih tahu tentang ini, lo pasti bakal kaget," Rei berusaha membuat Rega penasaran. "Sekarang Fani tinggal di apartemen gue, Ga."

"Apa?!"

Rei mengangguk malas menanggapi keterkejutan dari cowok itu. "Makanya gue lagi bingung nih harus ngapain."

"Kenapa mesti bingung?" tanya Rega dengan santainya.

Rei hanya mengerutkan dahinya tanda tidak mengerti dengan pertanyaan cowok itu. Melihat itu, Rega hanya menghela napas dan menjelaskan, "Bukannya bagus kalo sekarang Fani tinggal di tempat lo? Kan elo yakin banget Dylan bakalan balik lagi kesini, dan kalo cowok itu udah balik, lo bakal lebih gampang ngancurin dia. Karena tu cowok pasti bakal langsung patah hati atau mungkin langsung bunuh diri."

Penjelasan itu membuat Rei terdiam. Entah kenapa cowok itu seperti merasa Rega tidak suka dengan rencananya kali ini. Karena dia tahu, apa yang dikatakan Rega tadi pasti hanya untuk membuat dirinya tersindir.

"Kayaknya lo nggak setuju banget sama rencana gue, Ga."

Rega tahu kalimat itu bukan pertanyaan, tapi dirinya tetap memberikan jawaban. "Gue bukannya mau ngelarang lo, Rei. Karena itu memang bukan hak gue. Sebagai sahabat lo, gue cuma mau ingetin lo doang. Gue cuma takut lo ancur seandainya rencana lo ini gagal." Gue nggak mau lo balik lagi kayak waktu itu, Rei.

Mendengar perkataan sahabatnya itu membuat Rei menghela napasnya. Pikirannya menerawang. Kalau boleh jujur, dia juga takut rencananya ini justru membuatnya kembali terjatuh. Luka yang lama saja belum mengering dan jika ditambahkan dengan luka yang baru, dapat dipastikan dirinya akan hancur seketika itu juga. 

Tapi Rei tidak peduli lagi. Kehancuran itu sudah pernah dirasakannya beberapa tahun yang lalu dan jika lewat rencana ini dirinya harus kembali merasakannya, berarti itu memang takdir yang harus dijalaninya. Asalkan seseorang itu hancur, dirinya tidak peduli kalau memang harus hancur bersama dengan orang itu.

"Kalo gue ancur. Ya berarti gue emang harus ancur," ucapnya dengan mata menerawang.

Mendapati dirinya menjadi pecundang dengan melibatkan orang lain dalam masalahnya saja sudah membuat dirinya sedikit hancur. Jadi kalau memang pada akhirnya dirinya harus merasakan kehancuran yang lebih, dirinya akan berusaha menerima semua itu. Luka yang pernah dirasakannya dulu, seseorang itu pun juga harus merasakannya.

"Kalo lo capek, istirahat aja." Hanya itu yang diucapkan Rega. Kemudian dirinya ikut berbaring bersama dengan Rei.

***

Sekitar jam sebelas malam, Rei baru sampai di apartemennya. Dirinya sangat terkejut ketika mendapati perubahan pada apartemennya. Memang tidak banyak yang berubah, hanya sofa dan juga televisi yang tadinya berada di ruang tersendiri -dengan hanya dilapisi kaca sebagai pembatas ruangan- sekarang malah berada di ruang tengah. 

Di ruangan itu malah terdapat tempat tidur kecil juga lemari kecil yang sangat diyakininya sebagai milik dari cewek yang sekarang sedang berada di dapurnya itu.

"Kenapa lo ubah-ubah apartemen gue tanpa ijin?" tanya Rei mencoba menahan emosinya. Dia memang tidak ingin berlebihan. Tapi menurutnya, cewek itu sudah sangat tidak sopan karena merubah apartemennya tanpa ijin.

Fani tahu cowok di depannya ini pasti sedang menahan emosinya. Tapi dirinya hanya menjawab dengan santai, "Ohhh... itu tadi gue udah ijin sama tante Nadia. Elo maunya gue lapor ke tante Nadia kalo elo nyuruh gue tidur di sofa?"

Rei mengatupkan rahangnya sambil menahan napas. Kemudian membuang napasnya kesal, "Ini yang terakhir lo acak-acak apartemen gue."

Fani hanya diam mendengar ucapan tajam dari cowok itu. Dirinya yakin, Rei pasti sangat marah. Siapa suruh dia nyuruh gue tidur di sofa?

***

"Jadi sekarang lo beneran tinggal di apartemen Rei?" tanya Bianca setelah sadar dari keterkejutannya. Dirinya masih tidak habis pikir kenapa orang tua Fani sangat percaya pada Rei yang notabane-nya adalah player kelas kakap di kampus mereka.

Fani hanya mengangguk menjawab pertanyaan sahabatnya itu.

"Gue heran deh, kok Tante sama Om segitu gampangnya sih nitipin elo sama Rei? Elo juga, kenapa nggak bilang? Tahu gitu, gue nyuruh lo tinggal di rumah gue aja." Bianca jadi sewot sendiri. Dia memang tidak benci pada Rei. Tapi dirinya juga tidak bisa mempercayakan Fani pada cowok itu.

"Kemaren aja itu cowok dipuji-puji," gerutu Fani.

"Ya tapi kan tetep aja track record dia itu nggak baik, Fan," balas Bianca.

"Gue udah bilang buat tinggal di rumah lo aja. Tapi mereka bilang takut ngerepotin elo."

"Mendingan elo ngerepotin gue, daripada kayak gini kejadiannya. Dia itu brengsek, Fan. Lo tahu kan?"

Fani kembali menggangguk. "Iya, gue tahu."

"Terus sekarang gimana? Pindah aja deh," usul Bianca.

"Gue juga maunya begitu tahu, Bi. Tapi kalo gue tiba-tiba minggat, tu cowok rese pasti langsung lapor ke nyokap, dan kalo nyokap udah tahu, gue pasti nggak boleh lagi ikut kursus bikin kue."

Penjelasan Fani membuat keningnya berlipat. Jadi hanya karena alasan ini, Fani sangat menurut pada orangtuanya. Bianca kemudian menghela napas, "Elo kan bisa diem-diem buat ikut kursus bikin kuenya, Fan. Gue nggak mau sampe terjadi hal yang enggak-enggak."

"Duieeleeehhh... perhatian banget sih sahabat gue yang satu ini," balas Fani sambil tersenyum lebar, menggoda Bianca.

"Apaan sih, Fan? Jijik tahu nggak?"

"Tapi sayang kan?" goda Fani lagi.

"Geli gue tahu nggak?" balas Bianca sambil menjitak kepala Fani. Sedangkan Fani hanya meringis sambil mengusap kepalanya yang dijitak oleh Bianca.

***

Lo, Tunangan Gue !!! [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now