BAB 7

14.3K 1.2K 29
                                    

Hujan turun membasahi semesta. Gerakannya yang konstan dan kencang seakan-akan mampu meretakkan tanah yang dihujamnya. Langit berwarna kelabu masih menyimpan jutaan partikel air.

Di salah satu pilar di lorong kelas sepuluh, di lantai satu, Zena menyandarkan tubuhnya dengan pandangannya tidak teralih dari keramaian air yang jatuh. Hawa dingin kadangkala menyebabkan dia harus mengeratkan cardigannya. Pipi tirusnya terlihat menggembung untuk beberapa kali. Tangannya yang iseng menengadah, seolah menjadi tampungan air hujan.

Zayn muncul dari anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua. Sekitar dua detik lamanya dia menengok untuk mencari seseorang. Sahabatnya yang diketahui sedang bermain-main dengan air hujan.

"Dasar anak TK!" gumam Zayn gemas. Dia mendekat ke arah Zena tanpa harus terhalang tubuh anak-anak kelas sepuluh yang biasanya ramai memenuhi lorong. Sebagian besar dari mereka sudah kembali ke rumah.

Telapak tangan Zena yang basah segera ditarik mundur oleh Zayn begitu jarak diantara mereka tidak lebih dari tiga puluh centi.

"Ih, kok ditarik sih," gerutu Zena. Bertindak sebagai pembangkang, maka Zena mengulurkan tangannya lagi. Dan tentunya, ditarik lagi oleh Zayn. "Ganggu aja deh ah."

"Sakit entar."

"Is, nggak bakal, masa ginian doang bisa bikin sakit."

"Anak ngeyel!" Zayn dibuat kesal karna Zena lagi-lagi memajukan tangannya melawan air. "Bandel banget anaknya siapa sih?"

"Anaknya Papa Martin sama Mama Anjani, adeknya Kakak Arthur."

"Gemes gue kasihin ke kucing deh biar dicakar," kata-kata Zayn dianggap lelucon yang harus Zena balas dengan juluran lidah. "Kirain udah pulang."

"Ujan kan ya."

"Dijemput kan pake mobil."

"Kak Arthur nggak bisa jemput, masih ngurusin pendaftaran di kampus. Gue disuruh naik taxi."

"Kak Yosa juga nggak bisa jemput, ada urusan sama temennya apa gitu gue nggak ngerti," sepercik pemikiran terbesit di benak Zayn berkaitan dengan Yosa dan Arthur. "Mereka janjian kali. Jalan berdua, kangen-kangenan. Alesan doang nggak bisa jemput kita."

"Iya gitu?"

"Nggak papa sih, gue lebih setuju Kak Yosa sama Kak Arthur daripada sama Tamtam."

"Tamtam apa?"

"Pacarnya Kak Yosa."

"Kak Yosa masa pacaran sama biskuit?"

"Itu timtam, oneng," balas Zayn sambil mencubit pipi Zena. Membuat anak perempuan didepannya itu mengaduh. "Namanya Tama tapi gue manggilnya Tamtam. Cupu sih gue aja males liatnya."

"Hati mah mana bisa dipaksa. Kak Yosanya cinta."

"Cinta apaan."

"Lah, apaan emang?"

"Bego aja dianya," Zayn mengurut pandangannya ke atas. Melihat langit yang tak kunjung henti meneteskan air. "Nunggu di aula aja yuk, sepi. Daripada disini."

Mendengar ajakan Zayn ke tempat yang disebut aula dengan embel-embel sepi, membangkitkan kewaspadaan Zena. Buru-buru dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan mundur dua langkah.

"Ke–kenapa harus ke aula?" pasalnya, di lorong inipun sudah terbilang sepi. Zena yang mengeluarkan reaksi aneh memancing Zayn untuk mendekat.

Terus mendekat...

Sampai Zayn menunduk tepat di depan wajah Zena, memiringkan kepalanya dan berbisik pelan. "Biar bisa ciuman lagi kaya waktu itu."

"ZAZAAA!!!" teriak Zena. Zayn yang cekikikan harus rela mendapat pukulan bertubi-tubi dari Zena. Selain itu, Zena juga merusak tatanan rambut Zayn––yang sebenarnya sudah rusak gara-gara diterpa angin. "Otak mesum! Tukang modus! Bego bego bego! Zaza nyebelin!"

Zayn and Zena ✔حيث تعيش القصص. اكتشف الآن