BAB 18

10.1K 836 12
                                    

Lengan Zayn dijadikan bantal oleh Zena selama hampir satu jam. Meski terasa kram, Zayn berusaha untuk tetap tenang. Tidak bergerak sedikitpun agar kenyamanan tidur Zena tidak terganggu oleh pergerakan kecil.

Zayn bukannya marah, dia justru senang melihat Zena merasa aman berada di dekatnya. Dan bisa memandang Zena dalam jarak sedekat ini, Zayn merasa ada satu desiran di hatinya yang walau sudah dia cari apa namanya selama perjalanan berlangsung, dia tetap sukar menemukan jawabannya.

Satu yang pasti, Zayn selalu bertekad agar Zena tetap pada tempatnya, yaitu di sisinya, agar Zayn dapat terus melindungi cewek itu entah sampai kapan.

"Ze– Zeze, bangun yuk, udah sampe nih," ucap Zayn pelan, tidak bermaksud membuat Zena kaget. Beberapa anak sudah keluar dari bus karna mereka sudah sampai di lokasi perkemahan. Arga, Sovia dan Ben juga sudah hilang, membiarkan Zayn berusaha membangunkan Zena dalam ketenangan.

Zena menggeliat pelan. Perlahan, matanya terbuka, mengerjab sesaat untuk beradaptasi dengan keadaan sekitar. Baru setelah dia sadar kalau bus sudah berhenti berjalan, Zena mengangkat kepalanya dan menguap. "Udah sampe ya?" tanya Zena dengan suara serak.

"Iya, udah sampe. Zeze tidur mulu daritadi," Zayn melemaskan tangannya yang masih kram. "Semalem tidur jam berapa emangnya?"

Untuk sekian detik, Zena terpana melihat pemandangan di luar jendela. Sebuah hutan belantara hijau berhias puluhan pohon tinggi serta ada bukit yang terlihat jauh. Namun, beberapa detik kemudian dia sadar kalau suara di sebelahnya adalah milik Zayn, yang itu artinya selama perjalanan dari Jakarta ke Bogor, Zena tidur di dekat Zayn––sangat dekat, mungkin.

Cepat-cepat, Zena menolehkan kepalanya pada Zayn. "Zaza ngapain masih di sini? Turun gih."

"Kan Zaza nunggu Zeze," jawab Zayn, sebentar-sebentar bibirnya nampak meringis sambil tangannya memijat lengan.

"Kenapa?" tanya Zena. Jarinya menunjuk lengan Zayn.

"Nggak kok, cuma kram aja abis dijadiin bantal sama tuan puteri. Hehe."

Zena merasa ada rasa panas merambati kulit wajahnya. Iba karna pastinya lengan Zayn terasa sakit, Zena memajukan tangannya untuk ikut memijit. "Salah siapa pake sok-sok-an jadi bantal buat Zeze, kan Zeze bisa tidur tanpa harus bikin Zaza sakit gini."

"Cieee, asik, diperhatiin sama Zeze," Zayn cengar-cengir sendiri.

"Apa sih ah!" sahut Zena lalu mengeplak lengan Zayn. "Cepetan gih dilemesin tangannya, trus turun, ntar dikira kita ngapa-ngapain lagi di bus."

"Emang Zeze nggak mau kalo ngapa-ngapain sama Zaza?" cowok beralis tebal itu mendorong kepalanya lebih maju, mendekati wajah Zena.

"ZAZAAAA!!" refleks, Zena meraup wajah Zayn. "Dasar mesum!"

"Lah, kok mesum? Zeze mikirnya kejauhan yeee."

"Alah, pasti Zaza mikirnya itu kan?"

"Itu apa?"

"Auk amat. Ayo ah, Zeze mau turun udah nggak sabar mau liat lokasinya," ujar Zena sambil menggeser tubuh Zayn.

Sesudah memakai tas ransel mereka masing-masing, Zayn membiarkan Zena untuk turun lebih dulu. Mereka lewat pintu belakang karna jaraknya lebih dekat dibandingkan harus berjalan ke pintu depan. Lima bus milik kelas sebelas yang lain juga sudah terparkir rapi, sebagian anak berlarian menuju satu titik, sebagian lagi masih berjalan santai sambil mengobrol.

Udara di tempat ini sangat segar, membuat Zena nyaman. Dua tangannya merentang bersamaan, sambil hidungnya menghirup udara banyak-banyak.

Jarang banget kan ya bisa merasakan keadaan seperti ini di Jakarta. Cakep banget dah pokoknya!

Zayn and Zena ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang