BAB 15

10.2K 920 20
                                    

Pagi ini, seharusnya sebuah keputusan yang dibuat mamanya bisa membuat Zena berteriak kegirangan.

Oke deh, Mama ijinin Zeze ikut kemah apatuh namanya––tapiiii, Zeze harus selalu deket sama Zayn, pokoknya wajib deketan terus biar Zayn bisa jagain Zeze.

Awalnya sih memang menyenangkan, sama seperti ketika Zena membuka laman instagramnya dan menemukan idolanya Lucky Blue Smith mengupload foto––apalagi kalau fotonya dalam pose shirtless, duh, Zena bisa langsung menciumi ponselnya sampai banjir.

Tapi.....

Pffttt! Embel-embelnya itu lho yang membuat Zena menekuk mukanya sepanjang acara sarapan berlangsung. Selera makannya sudah hilang duluan. Donat gula halus kesukaannya juga tidak mampu membangkitkan gairahnya. Untuk kali ini, pertengkaran antara dia dan Zayn semalam benar-benar melemahkan seluruh fungsi gerak Zena. Rasa-rasanya, Zena cuma ingin mendekam di kamarnya seharian. Tidak harus ke sekolah yang sama artinya harus bertemu dengan Zayn.

FUH! Zena jadi ingat dengan lima pesan LINE dari Zayn yang dia abaikan semalam. Sekuat apapun cowok itu minta maaf, Zena lebih kuat menahan dirinya untuk tetap menyatakan perang dengan Zayn.

Apa-apaan, baru beberapa menit mengucapkan kalimat menyebalkan, seenaknya saja Zayn minta maaf.

Kalau boleh, ingin rasanya Zena melempar Zayn dengan seember penuh sambal batagor––eh, tapi yang ada Zayn malah kesenengan dan menjilati habis sambalnya.

Tau ah! Bete...

"Psst–Dek, heh!" panggil Arthur sambil mengguncangkan bahu Zena. Adiknya itu terlihat merengut dan terus menusuki donatnya dengan garpu. "Dek, woy––dipanggil nengok kali nggak sopan amat lo."

"Apa sih berisik deh lo, Kak," jawab Zena malas, tapi tetap bisa mendelik pada Arthur.

"Widih, selow, sist!"

"Lagi nggak bisa selow!"

"Kenapa dah? Cerita kali, cemberut mele lo dari semalem pulang kencan," Arthur tersenyum dengan bibir menahan potongan roti bakar. "Canda elah, lagian elo gitu banget."

Zena batal melempar Arthur dengan garpu dan malah meletakkan benda itu di piringnya. "Pertama, gue semalem nggak kencan sama Ilham, oke? Dan kedua, gue lagi amat sangat bete sama yang namanya Zayn! Ih sumpah pengen gue remes-remes––"

Arthur mendadak tersedak susu setelah mendengar kata terakhir yang Zena ucapkan. "Buset, sadis amat dah. Sakit itu kalo diremes-remes."

"Ah, elo makin ngerusak mood gue aja sih, Kak," balas Zena lalu mencubiti tangan Arthur. Kakaknya itu mengaduh karna Zena tidak pernah main-main kalau sudah urusan mencubit. "Kotor sumpah pikiran lo is!"

"Yee bocah– bukan itu kali maksud gue, diremes pipinya. Lo tuh yang nangkepnya ketinggian."

"Bodo!"

"Siapa?"

"Amat."

"Hush––Pak Amat kan tetangga sebelah, Dek. Dosa tau ngatain orang tua."

"Kak, lo ya––hih, resek dah!"

"Kalo nggak resek bukan kakak lo," Arthur terus mengunyah roti bakarnya, sembari mencuri pandang pada donat milik Zena yang masih utuh, hanya bagian tengahnya saja yang bolong––eh, semua donat kan seperti itu(?) "Berantem sama Zayn ya?"

Zena mendecak sebal. "Bete tau, Kak, sama dia. Nggak ngerti kenapa dia bisa benci banget sama Ilham. Lah sekarang coba deh lo pikir, masa kalo gue deket sama Ilham si Zaza marah? Logikanya apaan coba yang masuk akal? Gila aja kalo gue nggak boleh punya temen cowok selain dia, dipikir gue anak kemaren sore emangnya. Gue juga tau kali mana orang baek mana orang jahat."

Zayn and Zena ✔Where stories live. Discover now