Wattpad Original
There are 3 more free parts

Bab 4

52K 5.3K 111
                                    

Sedarah bukan berarti sama. Baik itu karakter ataupun tingkah laku. Hal tersebut sepertinya berlaku untuk Gavin dan mamanya.

Kalau Gavin tampak selalu tenang dan terbiasa mengontrol emosinya, maka mama Gavin yang bernama Mira ternyata adalah tipe yang mudah sekali mengumbar ekspresi diri, tidak suka menahan-nahan. Cenderung berlebihan dan heboh, tapi juga penuh kehangatan.

Terbukti saat Adilla baru saja datang menemui Mira. Wanita setengah baya itu langsung memeluk Adilla dengan erat, bahkan sebelum Adilla memperkenalkan dirinya secara resmi. Mira juga tidak peduli saat para pengunjung restoran menatap penasaran atas pekikan tertahannya sewaktu pertama kali melihat Adilla.

"Seruni benar. Kamu ternyata manis sekaligus cantik sekali, ya," ucap Mira dengan senyum lebar. Bahkan dia melarang Adilla duduk berhadapan, menarik gadis itu untuk duduk bersebelahan dengannya.

"Maaf, Tante. Dilla agak telat datangnya, tadi harus ketemu dosen dulu," ucap Adilla meminta maaf.

"Nggak apa-apa. Tadi Tante ke sini dengan papanya Gavin, kok. Tapi, Papa Gavin harus kembali ke kantor lagi. Kamu pesan aja dulu," sahut Mira sambil mengibaskan tangan, tanda bahwa dia tidak mempermasalahkan keterlambatan Adilla.

Adilla mengangguk, lalu mengambil buku menu. Awalnya dia memang sedikit risi atas apa yang dilakukan mama Gavin. Sedari tadi Mira terus saja menatapnya dengan penuh senyum ceria. Seakan baru saja menemukan mainan baru yang sangat menarik untuknya. Hal itu adalah Adilla.

Namun, akhirnya Adilla menyadari bahwa ada hal yang membuat Mira menjadi setipe dengan Gavin, yaitu aura dan pembawaan diri yang membuat Adilla langsung betah untuk bersama mereka.

Meski cenderung berlebihan, Adilla sangat menikmati perhatian hangat Mira. Adilla jarang berinteraksi seperti ini dengan tantenya sendiri walaupun mereka tinggal serumah, hingga menjadikan perhatian Mira terasa sangat spesial baginya.

"Nanti Gavin yang akan jemput kamu, kan?"

"Tadi malam dia bilangnya gitu," jawab Adilla. "Tante nanti gimana pulangnya?"

"Tenang aja. Habis ngantar papa Gavin, nanti supir balik lagi ke sini buat jemput Tante."

Adilla mengangguk paham. Dia merasa tidak begitu sulit berkomunikasi dengan Mira. Keduanya bahkan tidak sadar ketika jam sudah menunjukkan waktu sore hari. Entah berapa jam Adilla berusaha bertahan meladeni segala tanya selidik yang dilontarkan mama Gavin padanya.

Mira bahkan terang-terangan menanyakan terkait perasaan Adilla terhadap anaknya. Adilla tahu kalau dia tidak boleh menjawab dengan sembarangan. Jadi, dia berusaha sebisa mungkin merangkai kalimat diplomatis demi menenangkan Mira.

"Gavin itu nggak pernah menjalin hubungan serius dengan wanita setelah bercerai. Maksud Tante, nggak ada satu wanita pun yang pernah dikenalkannya pada kami. Meskipun begitu, sebenarnya Tante juga tahu kalau ada satu atau dua orang yang pernah dekat dengan dia."

Adilla hanya diam, mencoba menjadi pendengar yang baik, sembari mengumpulkan informasi tentang Gavin.

"Tapi, tiba-tiba Gavin malah bikin kaget. Dia langsung sepakat pas Tante minta ketemuan sama kamu. Sedikit aneh, sih, karena biasanya Gavin itu nggak pernah mau meladeni candaan atau rayuan Tante untuk mencarikan dia istri."

Mira menceritakan perihal putranya dengan sangat terbuka, bahkan sambil terkekeh pelan. Seakan itu adalah candaan menyenangkan untuk diperbincangkan. Atau memang begitu gaya mereka, keluarga Anggara? Frontal dan blak-blakan, seperti sikap Gavin selama ini.

Menit-menit terakhir kebersamaan mereka, akhirnya Adilla tidak lagi bisa menahan diri untuk menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran akhir-akhir ini.

The First OneWhere stories live. Discover now