LLR - Part 15

214 39 7
                                    

~Hidup itu bagai serpihan puzzle, dan kita sebagai pemainnya berusaha menyatukan serpihan serpihan puzzle itu menjadi sebuah lukisan yang indah~

***

Aku menenggelamkan kepalaku di bawah bantal. Rasa lelah mulai menyerangku, menggerogoti saraf sarafku dan mulai melemahkan sel-sel di tubuhku.

Aku sudah menguap, mataku sudah berair namun yang membuatku bingung adalah aku masih belum bisa menutup mataku. Padahal udah jelas-jelas aku ngantuk!!

Pikiranku mengulang memori saat aku dan Dhika pergi ke pemakaman. Entah mengapa, semenjak kejadian itu aku mulai merasa simpati pada Dhika. Lelaki yang selama ini aku kira kuat, lelaki yang selama ini aku kira tak mempunyai masalah ternyata memiliki jutaan cerita menyakitkan dalam hidupnya.

Meskipun aku tak mengetahui apa masalah yang membuatnya terlihat selemah itu, tapi dari raut wajahnya aku dapat melihat berjuta kesedihan dan kekecewaan.

Ada sesuatu di diriku yang mendorongku untuk mencari tahu masalah itu tapi darimana? Nanya langsung sama Dhika? Gak mungkin! Nanti kalo dia nangis lagi gimana? Berabe urusannya.

Dan aku merasa seperti ada kejanggalan dalam kisah ini, setahuku Dhika itu anak tunggal, dan setahuku keluarga Dhika baik-baik saja.

Setiap Lebaran juga keluarganya selalu datang untuk bersilahturahmi, dan aku sama sekali tak pernah melihat permusuhan di antara mereka?

Aneh kan? Ngapain juga aku mikirin masalah orang lain? Masalah sendiri aja belom bisa aku selesain, ini lagi masalah orang.

Maklum, namanya juga pensaran.

tok tok tok...

Suara ketukan dari balik pintu membuyarkan isi lamunanku, dengan langkah gontai aku berjalan ke arah pintu dan membukanya.

"Dek, gue boleh ngungsi di kamar lo gak?" Aku mengernyit. Ngungsi? Ni kakak ada-ada aja si.

Aku membuka pintu kamarku. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah kakaku dengan wajah pucat pasinya. "Gak ah, ngapain si lo ngungsi di kamar gue? Kayak gak punya kamar aja!"

"Ya elah dek, bentaran doang, di bawah ada Nenek sihir." Aku mengangkat satu alisku dan menatapnya dengan tatapan seolah aku berkata what do you mean?

Kak Jessen seolah mengerti arti tatapanku. "Yaelah itu si kak Lala, dia ada di bawah." Belum sempat aku menjawab pertanyaan kak Jessen sebuah suara muncul dari lantai bawah.

"Kenjessen Michael Hermansyah. Where are you baby?" Aku dan kak Jessen saling memandang, dengan langkah cepat aku dan kak Jessen masuk ke kamarku.

"Huft, hampir aja." Kak Jessen mengelus dadanya, sementara aku menatapnya dengan tatapan tajam.

Kak Jessen seolah tak peduli denganku, tanpa seizinku dia berjalan ke arah kasurku dan merebahkan dirinya di kasurku. Aku mengikutinnya merebahkan tubuhku ke kasurku.

Aku tahu mengapa kak Jessen ngumpetnya ke kamar aku? Karena kak Lala gak bakal mau masuk ke kamar aku. Aku juga gak tahu si alasan kenapa kak Lala gak mau masuk ke kamar aku.

Hening, selama beberapa menit hanya keheningan yang menyelimuti aku dan kakakku. Aku tak suka suasana hening.

"Kak," suaraku memecahkan keheningan.

"hm"

"Kayaknya kak Lala cinta banget deh ama lo." Kak Jessen hanya terkekeh.

"Dia itu gak cinta sama gue, dia cuman terobsesi sama gue. Dalam kamus cinta itu gak ada yang namanya paksaan, cinta itu kenyamanan."

LOVE'S LIKE RAINBOW✔Where stories live. Discover now