Chapter 6

12K 933 57
                                    

Matahari bersinar begitu terik hari ini. Cahayanya yang menembus dedaunan hijau di pohon rindang langsung membuat Alice terbangun di istirahat siangnya. Ia mendongak perlahan memandangi sinar matahari yang begitu menusuk matanya. Untung saja ia bukan vampir, kalau tidak, beberapa bagian tubuhnya sudah hangus terbakar.

Kini Alice menolehkan wajahnya ke samping. Seseorang menyenderkan kepalanya di bahu Alice dan tertidur lelap sedari tadi. Ada rasa tidak enak pada diri Alice untuk membangunkan Louis, tapi begitu ia melihat jam tangannya, ia sadar bahwa mereka sudah terlambat lima menit untuk masuk ke dalam kelas, padahal sekarang adalah jam pelajaran terakhir. Kini ia menimbang-nimbang apakah ia harus membangunkannya atau tidak.

Namun yang ada Alice justru mengamati lekuk wajah Louis dengan seksama. Pipinya tirus, hidungnya mancung, serta bibirnya yang tipis.

Tampan.

Hanya satu kata itu saja yang ada di benaknya.

Tapi sayangnya kau menyebalkan.

Alice terkekeh singkat mengingat kejadian-kejadian konyol yang dilewatinya bersama Louis. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa melewati hari-harinya yang membosankan jika Louis tidak ada. Walau pun Kate sering menemaninya bermain, tapi sosok Louis seolah menjadi pelengkap dan memberikan pengaruh yang begitu besar.

Ia ingat bagaimana pertama kali Louis tiba di rumah Tn.Smith. Ayah angkatnya sendiri yang membawa Louis saat itu.

*Flashback*

Salju turun cukup lebat malam ini. Tepatnya hari ini adalah malam natal dan kebanyakan orang di kota London berkumpul dengan sanak saudara mereka di rumah masing-masing, sementara beberapa ada yang pergi ke tengah-tengah kota untuk menghabiskan waktu dengan kekasih.

Namun berbeda situasinya dengan pinggiran kota London yang kini begitu sunyi dan gelap. Lampu-lampu jalan banyak yang mati tapi beberapa di antaranya ada yang menyala redup bahkan konslet.

Akan tetapi di tengah-tengah keheningan itu ada seorang bocah laki-laki yang terbaring di atas trotoar. Matanya terbuka meneteskan butiran-butiran air mata. Ia sesekali terisak menahan tangisannya yang semakin menjadi-jadi. Wajahnya pucat pasi serta terdapat bercak darah yang mengering di pipinya.

Ia menangis sendu di hari ulang tahunnya yang ke-13, mengingat sebuah topi berbentuk kerucut melilit di lehernya saat ini.

Tak lama setelah itu seorang pria berperawakan tinggi datang dari arah tikungan. Ia memakai mantel coklat dan berjalan ke arah bocah lelaki yang malang itu.

“Kau baik-baik saja?” tanyanya setelah ia duduk di atas lututnya di dekat bocah itu.

Namun ia tidak menjawab atau pun bergerak. Hanya isak tangis yang semakin dalam yang terdengar. Bocah itu seakan pasrah jika ada seseorang yang hendak menyakitinya saat ini.

“Kemarilah, aku tidak akan menyakitimu. Aku orang baik-baik.” Ujarnya seraya mengangkat tubuh bocah lelaki tersebut. “Kau tidak perlu takut, aku bukan salah satu dari mereka. Kau akan aman bersamaku.”

The Night Class - (Harry Styles / Louis Tomlinson Fanfiction)Where stories live. Discover now