1.

300 53 68
                                    

"Kain Kafan! Sialan lo!" teriak Dhia nyaring pada Kafin karena Kafin selalu mengambil pulpennya. Entah sudah berapa kalinya Dhia menerima pasrah pulpennya yang hilang dari meja.

"Apaan sih, Dhi?" tanya Kafin sembari mengedip ngedipkan matanya. Dhia menatap jijik melihat Kafin seperti itu.
"Balikin pulpen gue!" ucapnya.

"Pulpen? Pulpen yang mana?" balas Kafin seolah olah tidak mengerti, dan menatap Dhia seolah olah ia sedang dituduh mencuri uang milyaran rupiah di bank.
"Jangan sok polos! Balikin cepetan, pulpen gue di ambil mulu, ih!" ucap Dhia dengan kesal.

Dhia sudah tau pastilah Kafin yang mengambil pulpen keramatnya. Karena pulpennya selalu hilang setiap Kafin selalu di dekatnya. Dan apalagi Kafin pernah membagikan semua isi tempat pensil Dhia kepada teman teman sekelasnya. Ya walaupun tidak seisi kelas kedapetan, sih.

"Pulpen yang mana, sih? Pulpen yang ini kan punya gue!" ucap Kafin sambil menunjukkan pulpen gelnya.
"Ih! Itu punya gue, tai! Balikin!" Dhia berusaha mengambil pulpennya tersebut.

Namun, semua orang tahu Dhia tidak dapat mengambilnya, apalagi dengan Kafin berjinjit seperti itu. Karena Kafin memang termasuk anak tinggi di kelasnya, dan Dhia termasuk anak yang cukup pendek di kelasnya.

"Ambil sendiri dong, sini. Makanya jadi orang jangan pendek!" ucap Kafin sambil menyentil dahi Dhia.
"Ah tau ah."

"Dih ngambek." Kafin mencoba menggoda Dhia kembali. Namun, Dhia memandang Kafin dengan jutek.
"Oh." ucap Dhia dengan muka datar. Makin membuat Kafin gemas gemas ingin menjitaknya.

"Nanti gue traktir deh." empat kata yang membuat Dhia langsung tersenyum.
"Oke. Deal?" Dhia mengacungkan jari kelingkingnya pada Kafin namun..

"Nggak deng, gue bohong, oh iya btw makasih ya pulpennya!" Kafin langsung berlari pergi setelah berkata seperti itu.

"Manusia laknat lo!" teriak Dhia geram. Dan Kafin tertawa kemenangan. Mungkin hobi Kafin adalah menjahili Dhia, apalagi kalau Dhia sudah marah seperti ini.

"Sabar ya Dhi," ucap teman yang lebih seperti kembaran Kafin, Rhandra. "Ngeladenin Kafin itu kayak lo lagi berak aja, harus tenang, rileks." lanjutnya.

Dhia mendengus sebal. "Sayangnya gue aja udah langsung mau berak kalo liat muka dia," kata Dhia sedikit lebih tenang. "Ngeliat muka lo juga bawaanya pengen berak, kalian tuh sama aja, sama sama laknat." lanjutnya lagi.

"Wah? Berarti sekarang lo mau berak, dong?"

Dhia memutarkan bola matanya kesal. Meladeni Kafin dan Rhandra sama saja, sama sama membuang waktunya. Daripada meladeni mereka, Dhia lebih memilih berjalan jalan melihat cogan cogan yang bertebaran. Agar matanya segar. Sayang, setiap kali Dhia ingin berjalan jalan sendiri, Kafin selalu mengikutinya. Dengan alasan takut Dhia diculik om om genit, dan sebagainya.

"Udah deh lo pergi aja mendingan." ucap Dhia sambil membalikkan badannya menghadap papan tulis.
"Yaudah deh jangan ngambek, gue traktir lo gimana?" balas Rhandra sambil menaikkan alisnya.

Dhia mendengus sebal, ia tidak akan mau tertipu untuk kedua kalinya. "Males ah, lo pasti bohong! Sama aja kayak Kafin." ucapnya malas.

"Yaelah ga guna amat gue bohong, nanti dosa."

Dhia langsung membalikkan badannya menghadap Rhandra.
"Beneran ya, lo?" ucap Dhia sinis tetapi juga tetap mengacungkan jari kelingkinya.

"Iya tenang aja. Tapi," balas Rhandra menggantung.
"Tapi apaan?" Dhia memicingkan matanya penasaran.
"Tapi nanti kalo gue udah jadi presiden, Dadahh!" Rhandra langsung berlari keluar kelas dan ber high-five dengan Kafin.

FoolishnessWhere stories live. Discover now