Chapter 6: the number you are trying to reach is very weird

247K 19.5K 3.3K
                                    

chapter 6: the number you are trying to reach is very weird


Oke, siapa yang pertama kali mencetuskan ide genius kalau nilai terbanyak itu sama dengan PDKT?

Pagi ini, Kalila akhirnya mau memberitahuku apa itu modus, dan sekarang, aku sukses dicap sebagai orang aneh oleh Kalila, dan mungkin juga Rio.

Padahal, kalau dilihat dari sudut pandangku, jelas bahwa si pencetus dan orang-orang yang menggunakan kata 'modus' dalam arti PDKT adalah pihak yang aneh. Tapi kenyataannya, malah aku yang dianggap aneh.

Sekarang, demo ekskul sedang berlangsung. Dan karena bosan setengah mati, Kalila mengajakku 'cabut'. Tapi kemudian, dia dipanggil Viara entah untuk melakukan apa, dan Kallila menyuruhku menunggu di depan toilet perempuan (serius, apa dia tidak bisa memikirkan tempat lain yang lebih keren?). Tapi setelah beberapa menit dan tidak ada tanda-tanda munculnya kepala dengan rambut panjang dan sedikit bergelombang milik Kalila, aku memutuskan untuk kembali ke tempat demo ekskul berlangsung.

Saat aku sudah menempuh separuh perjalanan menuju tempat di mana kebosanan berlangsung selamanya, aku bertemu Rio.

"Hai," sapa Rio sambil nyengir lebar.

"Halo," kataku, tidak yakin harus mengatakan apa.

"Kemarin lo telepon gue, ya?" tanya Rio. "Sori, waktu lo telepon gue itu, gue lagi buang air. Enggak apa-apa, kan? Yang penting gue udah dapet nomor lo."

"Iya, enggak apa-apa."

"Lo enggak mau ngomong sama gue gitu, kan?" tanya Rio.

Aku mengangkat alis kananku. "Pengen banget," balasku dengan datar. "Omong-omong, kenapa lo enggak nanya gue dulu sebelum daftarin gue?"

"Kan udah gue bilang, pendaftarannya ditutup cepet banget buat yang kelas IPA--cuma satu hari. Parah, kan? Tahun lalu sih, enggak kayak gitu. Cuma tahun ada gosip kalau guru IPA-nya masih muda, dan enggak tahu, deh. Yang jelas, anak cewek banyak yang daftar," jelas Rio.

Aku mengangguk-angguk, walaupun agak aneh juga mendengar kata 'guru IPA' setelah kemarin, aku mengobrol di telepon dengannya.

"Bisa keluar dari kelas itu enggak?" tanyaku.

Rio menatapku tidak percaya. "Lo serius mau keluar? Banyak yang mau daftar, lho. Sayang kalau keluar. Lagian, enggak ada salahnya juga, kan? Nilai lo bisa tambah bagus nanti."

Ya, tapi Mama pasti bakal syok berat kalau tahu aku masuk kelas tambahan untuk anak-anak yang nilainya jelek. Jangankan Mama--aku satu bulan yang lalu, juga pasti bakal syok berat. Sekarang pun, aku masih belum terlalu yakin dengan semua ini. Lagian, awalnya kan, aku cuma coba-coba.

"Gimana, Ra?" tanya Rio, menyela pikiranku.

"Pertemuannya hari apa aja?" tanyaku.

"Senin sampai Kamis," jawab Rio.

Apa katanya? Sampai?

"Sampai atau dan?" tanyaku memastikan.

Rio mengerutkan kening. "Sampai."

Oh, tidak. Ini gawat. Maksudku, apa gunanya mengulang semua materi IPA kelas sepuluh yang sudah selesai kupelajari? Bahkan semalam, setelah aku menyelesaikan A Tale of Two Cities, aku sudah mulai belajar materi untuk kelas sebelas.

"Berapa lama?" tanyaku. "Setiap pertemuannya, maksud gue."

"Dua jam," jawab Rio.

Aku melongo.

"Tenang aja, gue jamin kelasnya bakal asyik, kok. Kalau lo takut enggak ada yang jemput, gue bisa anter lo pulang."

Aku mendengus. "Modus."

The Number You Are Trying to Reach is Not ReachableWhere stories live. Discover now