Chapter 12: the number you are trying to reach meets arka's jane bennet

217K 15.2K 1.1K
                                    

chapter 12: the number you are trying to reach meets arka's jane bennet


((a.n kalau ada quotes bahasa inggris, bisa dilihat terjemahannya di paling bawah ok HHE))


"Itu Great Expectations?" tanya Mama sambil berjalan mendekatiku yang sedang duduk di ruang keluarga.

Aku menutup buku yang sedang kubaca lalu mengangguk. "Iya."

"Punya kamu?" tanya Mama sambil mengamati sampul buku yang sedang kupegang. "Bukan cetakan pertama, tapi kayaknya masih termasuk cetakan lama," komentarnya sambil duduk di sebelahku.

Aku mengangkat bahu. "Bukan punyaku. Aku minjem."

"Oh, ya?" tanya Mama. "Pinjem ke siapa? Mama kira teman-teman kamu enggak ada yang suka baca gituan."

Untungnya, aku tidak perlu repot-repot menjelaskan kepada Mama bahwa aku meminjam buku ini dari guru (soalnya, Mama nanti pasti bersikeras untuk berkenalan dengan gurunya, dan ya, bayangkan saja kalau sampai Mama tahu aku masuk kelas tambahan)—karena Mama tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

"Omong-omong soal temen kamu," kata Mama. "Apa kamu udah punya teman di sekolah?"

"Udah," jawabku, agak terkejut—Mama jarang menanyakan pertanyaan semacam itu kepadaku.

Mama mengangguk-angguk. "Temen kamu, udah menang olimpiade berapa kali?"

Aku teringat Kalila, lalu meringis dalam hati. "Belum menang olimpiade, Ma," jawabku.

Mama tampak terkejut. "Lho, Mama kira kamu dapat temen dari klub olimpiade," kata Mama. "Bukannya temen-temen kamu di SMP dari klub olimpiade semua?"

Menurut KBBI, teman itu adalah orang yang bersama-sama bekerja. Jadi, kalau berpedoman KBBI, orang-orang di klub olimpiade itu jelas temanku. Tapi, kami hanya berteman di dalam kelas klub saja. Itu pun, hanya sebatas membahas latihan soal. Coba tanyakan pada salah satu dari mereka tentang kehidupan pribadiku, pasti tidak ada yang tahu.

Tapi, ya, siapa peduli? Toh, kemungkinan terbesarnya, aku cuma akan bertemu mereka lagi di berbagai macam olimpiade—dan bukan berarti kami akan mengobrol juga saat bertemu lagi.

"Yah, dia bukan dari situ," jawabku. "Lagian, aku belum tahu di sekolahku ada klub olimpiade atau enggak. Kan, enggak semua sekolah punya klub olimpiade. Yang di SMP waktu itu kan, cuma inisiatif gurunya."

Mama mengangguk-angguk. "Kalau ada pun, Mama enggak maksa kamu masuk klub olimpiade, tapi Mama pengin kamu ikut olimpiade yang Mama bilang waktu itu."

"Yang Mama bilang waktu kita habis bahas Hestia?" tanyaku.

Mama mengangguk. "Olimpiadenya emang masih beberapa bulan lagi, tapi ini olimpiade besar, Aira. Yang ngadain lembaga pendidikan ternama. Mama belum tahu, sih, nanti kamu ikut dari sekolah atau gimana, tapi kalau dari sekolah, kamu enggak apa-apa, kan?"

"Emangnya kenapa kalau dari sekolah?" tanyaku, heran karena Mama peduli soal itu. Oke, aku bisa menjawab pertanyaanku sendiri. Tapi jawaban Mama, mana mungkin sama dengan jawabanku?

Mama tidak mungkin tahu alasanku tidak ingin dikirim sekolah, kan?

"Kalau dikirim sekolah, biasanya kan pialanya disimpan sekolah," jawab Mama sambil mengangkat bahunya. "Dan nanti kamu jadi sorotan. Emang kamu mau?"

Aku menggeleng. Alasan yang pertama sih, aku tidak terlalu peduli. Bagiku piala cuma tanda—yang penting kan, pengalamannya. Tapi kalau alasan yang kedua, jelas bukan sesuatu yang kuinginkan untuk terjadi.

The Number You Are Trying to Reach is Not ReachableWhere stories live. Discover now