Prolog

45.9K 3K 396
                                    

Desember 2011.

Perempuan berusia 21 tahun itu menarik napas panjang, melepaskan jas dokternya dengan gestur yang teramat malas. Kehidupan UGD memang sangat melelahkan, silih berganti orang-orang berdatangan untuk mendapatkan pertolongan pertama.

dr. Binar Lintang Aninda

Itulah nama yang tersemat pada jas dokternya. Lintang, biasa gadis itu disapa, telah diambil sumpah dokternya pada satu tahun yang lalu. Kariernya sebagai dokter ditempuh dalam waktu yang terbilang cepat karena ia mengikuti program akselerasi saat SMP dan SMA. Lintang mendudukkan diri pada kasur yang tersedia di ruangan ini.

"Akhirnya...." Lintang mengeliat, meregangkan otot-otot tangan dan tubuhnya yang kaku setelah bekerja seharian.

"Gue cabut ya Lin," ujar Fisya, rekan kerja Lintang sesama dokter.

"Yakin lo, Sya? Udah jam dua pagi loh ini, nggak nginep aja?"

"Pagi ini gue ada acara di rumah. Mau bantu-bantu ibu."

"Oh gitu, lo pulang sendiri? Bahaya loh tengah malam begini."

"Tenang aja aman kok, sama Ryan," ujar Fisya sembari menunjukan cengirannya.

"Oh gitu, iya deh, hati-hati yaa."

"Okewdew."

Fisya kemudian mengangkat ponselnya yang berdering.

"Kamu udah di depan? Oh oke oke, iyaaa." Fisya membereskan tasnya dengan cepat.

"Gue cabut sekarang, Lin." Lintang mengangguk memandangi punggung Fisya yang menghilang di balik pintu, masih terdengar suara bahagia gadis itu bercengkerama via telepon bersama sang tunangan.

Lintang sambil tersenyum kecut, agak iri dengan interaksi Fisya dan tunangannya. Lintang kemudian memandang tajam frame berisikan foto sepasang insan manusia yang tergeletak di meja kerjanya. Foto itu merupakan foto Lintang yang mengenakan jas dokter saat masih menjadi mahasiswi kedokteran bersama seorang cowok yang memakai seragam SMA. Keduanya menunjukkan senyum lebar sembari mencubit pipi masing-masing. Foto itu diambil sekitar enam tahun yang lalu. Cowok SMA itu memang pacar Lintang. Hm, sekarang sih udah jadi mantan.

Lintang membuang napas, ia meletakkan foto tersebut ke tempat sampah. Kemudian merebahkan diri dan mencoba untuk tidur. Saat dia mulai mengarungi alam mimpi, Lintang merasakan guncangan pada tubuhnya, membuat dia tertarik kembali ke dunia nyata secara paksa.

"Dokter Lintang, Dok! Bangun Dok!" seru perempuan dengan seragam perawat.

Lintang mengucek matanya. "Kenapa, Sus?" tanya Lintang seraya bangkit.

"Ada pasien, Dok! Kondisinya parah!"

Tanpa pikir panjang, Lintang langsung bergegas meraih jas dokternya. Berlari dengan sekuat tenaga menuju pasien. Suster itu menjelaskan kondisi pasien tersebut dan kurangnya tenaga medis yang berjaga malam ini. Terlihat sang pasien terbaring di atas bed yang digeret oleh sejumlah petugas rumah sakit. Lintang bergabung untuk melihat keadaan pasien, sembari berlari ia mengamati pasien tersebut.

Lidahnya seketika kelu dan airmatanya jatuh begitu saja.

"Sinar...." lirih Lintang tanpa sadar. Secara alamiah tubuhnya menggeser paksa orang yang berada tepat di samping pasien itu. Mereka pun berhenti tepat di depan ruangan ICU saat Lintang mulai berteriak frustrasi.

"Sinar! Ini kamu?! Kamu kenapa?! Sinar!" Lintang mengguncang cowok yang sedang tak sadarkan diri itu. Semua orang memandang Lintang bingung.

"Kamu kenapa Lintang?!" tanya Fadli, dokter senior Lintang.

"Cepat kalian bawa pasien ke dalam!" perintah Fadli lagi. Petugas rumah sakit yang lain pun langsung membawa masuk pasien tersebut.

"Dia...." Air mata Lintang bercucuran. "Adik saya, Dok."

Fadli terkejut. "Kamu yakin?"

Lintang menggeleng tak percaya. Tak bisa dipungkiri bahwa cowok itu memang adiknya. Bahkan Lintang mengenali pakaian yang pasien itu pakai. Ditambah dengan tanda lahir kecil yang tercetak jelas di bawah dagu pasien tersebut seolah membenarkan segalanya.

"Kamu tenanglah, saya masuk dulu."

"Saya juga ingin masuk, Dok," sela Lintang.

"Tidak, kamu di sini saja," kata Fadli tegas.

"Tapi, Dok."

"Ini perintah!" Dokter Fadli memasuki ruangan dengan tergesa. Di sana telah seorang perawat senior menjelaskan keadaan terkini pasien pada dokter Fadli.

Di luar sana, Lintang meremas rambutnya frustrasi. Air matanya tumpah ruah. Tak mampu membayangkan keadaan adiknya yang terkulai lemah dengan mulut berbusa. Lutut Lintang melemas, dia luruh begitu saja.

Sampai sebuah tangan menangkap tubuhnya. Membawanya duduk di kursi terdekat. Laki-laki itu menepuk-nepuk pundak Lintang mencoba menenangkan.

"Si... Si... Sinar...." Lintang tergugu. Tubuhnya bergetar hebat dan wajahnya pucat pasi.

Tak tahan lagi, laki-laki itu meraih tubuh Lintang ke dalam pelukan.

***

"Bagaimana keadaannya, Dok?"

Lintang terisak hebat ketika dokter mengungkapkan kata maaf. Ia langsung memasuki ruangan. Memandangi tubuh yang saat ini terbujur kaku. Tangisnya semakin deras saat melihat keluarganya yang lain tiba di ruangan itu.

"Kalian kenapa ke sini? Ini bukan Sinar kan, Bu? Ini bukan Sinar, kan?!" Lintang memandangi ibunya yang menangis di pelukan ayah.

Tatapannya beralih pada Bintang, adiknya setelah Sinar yang juga sedang terisak memanggil-manggil saudaranya yang telah tiada.

Kemudian, hanya gelap yang Lintang rasakan.

Keluarga itu kehilangan putra berharga mereka dengan alasan yang tidak bisa mereka terima sampai kapan pun.

Sinar Adi Nugraha, remaja yang telah menginjak tahun terakhir masa SMA-nya. Bercita-cita menjadi seorang abdi negara dengan seragam kebanggaan seperti sang Ayah. Pemuda yang taat dan patuh pada orang tua serta prestasi yang gemilang divonis meninggal dunia karena overdosis Narkoba.

Seorang laki-laki mengamati suasana duka itu dari balik kaca jendela.

Airmatanya jatuh perlahan membasahi pipi.

"Maafin gue, Sinar. Maafin gue."






Boleh minta tolong untuk merekomendasikan cerita ini agar bisa menjangkau pembaca yang lebih luas. kalau menyukai cerita ini tolong beri aku ⭐️ dan komentar.

Yuk hype cerita ini dengan memuatnya di instastory kamu jangan lupa tag instagram @inkinaoktari 🤗

Regards, Iin

Police Love Line (Back to High School) [complete]Where stories live. Discover now