Chapter 6

782 74 1
                                    

Justin tersenyum lebar sambil menatap pada api yang meliuk di perapian, dengan sebelah tangan berada di dagunya dan sebelah tangan yang lain bertumpu pada pegangan kursi besar bersandaran empuk tempatnya berada sekarang. Pria itu mengetuk-ngetuk permukaan pegangan kursi dengan jari telunjuk tangan kirinya, seperti menghitung detik demi detik yang terlewati sambil masih tetap tersenyum, seakan tidak menghiraukan tatapan mata penuh tanda tanya dan rasa heran yang dilayangkan Cliff dan Tom padanya. Justin sama sekali tidak peduli, dia masih tetap tersenyum lebar meskipun suara gemuruh kilat dan petir di luar sesekali terdengar begitu keras. Beberapa menit yang lalu, hujan memang turun dengan derasnya—bisa dipastikan cuaca di luar saat ini teramat dingin.

"Hey! Apa yang terjadi padamu, Justin? Kau tampak aneh setelah kau menemui Anna tadi. Apa yang terjadi, huh?" Cliff akhirnya tidak bisa menahan diri untuk bertanya, meskipun sesaat kemudian matanya menyipit dipenuhi oleh dugaan-dugaan kotor yang kini terbayang dalam kepalanya. "Kau tidak melakukan sesuatu pada Anna kan?"

"Yang benar saja." Tom memutar matanya sambil melenguh dengan ekspresi geli. "Kalau tidak salah aku mendengar suara barang yang pecah tadi. Si bodoh ini pasti habis bertengkar dengan Ms. Graham, sungguh suatu keajaiban dia bisa kembali lagi muncul di hadapan kita tanpa sedikitpun luka di tubuhnya."

"Bisakah kalian berhenti memanggil gadis itu dengan sebutan 'Miss' atau 'Anna'? Ya ampun, Cliff, Tom, sadarilah, dia hanyalah pelayan di mansion ini! Pelayan! Dia harus dipanggil sebagaimana pelayan dipanggil, aku benar kan?" Justin mendengus sambil melipat kedua tangannya di dada sementara punggungnya masih melekat erat pada sandaran kursi. "Dia sama sekali tidak pantas dipanggil Miss."

"Bagaimanapun dia itu seorang wanita." desis Cliff sambil tertawa. "Dan setiap wanita yang belum menikah, bukankah pantas dipanggil dengan sebutan 'Miss'? Ataukah aku harus memanggilnya future Mrs. Justin Salvatore mulai dari sekarang, Justin?"

"Jangan bercanda." Ekspresi wajah Justin berubah serius sesaat ketika Cliff menyelesaikan ucapannya. "Jika kau tidak berhenti menggodaku akan gadis itu, sesuatu yang lebih buruk dari bola kasti akan melayang ke wajahmu, bodoh."

"Sungguh menakutkan." Tom mengejek seraya menghempaskan kepalanya ke sandaran kursi, sementara Justin lagi-lagi memperhatikan lidah api yang menyala-nyala dalam perapian sementara hujan masih turun dengan deras di luar. "Apakah teman Anna akan datang malam ini?"

"Rasanya tidak," Cliff mengangkat kedua bahunya. "Kecuali dia punya mobil atau dia cukup bodoh untuk keluar di malam berhujan deras seperti ini, kupikir dia tidak akan datang. Hujannya benar-benar deras, dan udara terasa membeku, bahkan dari dalam sini."

"Lantas bagaimana gadis itu berpakaian?"

"Tentu saja dia sudah berpakaian." Justin menyela sambil memutar bola matanya, namun sesaat kemudian pria itu menyesali ucapan refleks yang terlontar keluar dari mulutnya. Dia menyela dengan cepat. Terlalu cepat hingga berhasil menimbulkan tatapan penuh curiga dari kedua kawannya. "Apa? Mengapa kalian menatapku seperti itu?"

"Darimana kau tahu gadis itu sudah berpakaian, huh?" Tanya Tom dengan nada menggoda. "Katakan pada kami, Justin, kau baru mengintipnya, iya kan? Geez, bagaimana rasanya?"

"Bagaimana rasanya apa?" Wajah Justin memerah dalam hitungan sedetik. "Hal bodoh apa yang sedang kalian bicarakan?"

"Bagaimana rasanya melihat tubuh perempuan secara langsung untuk yang pertama kalinya?" Cliff menimpali dengan nada yang nyaris terdengar seperti sebuah senandung. Justin mendengus sambil meraih kacang mede yang berada dalam stoples kaca tebal di atas meja di hadapannya, lantas melemparkannya pada Cliff dan Tom yang langsung menarik diri menjauh.

Blue Daffodil (by Renita Nozaria)Where stories live. Discover now