Chapter 38

560 40 0
                                    

"You would know the secret of death. But how shall you find it unless you seek it in the heart of life? The owl whose night-bound eyes are blind unto the day cannot unveil the mistery of light. If you would indeed behold the spirit of death, open your heart wide unto the body of life. For life and death are one, even as the river and the sea are one. In the depth of your hopes and desires lies your silent knowledge of the beyond. And like seeds dreaming beneath the snow your heart dreams of spring. Trust the dreams, for in them is hidden the gate of eternity..."

Anna belum selesai membaca penggalan puisi dari buku yang berada di tangannya ketika Justin menutup bukunya dengan sebelah tangan, membuatnya secara otomatis mengangkat wajah untuk menatap pria itu. Tentu saja, karena dia tengah dalam posisi berbaring di atas perutnya, sementara Justin duduk di sebelahnya. Laki-laki itu mengangkat sebelah alis, mata cokelat madunya menatap ke dalam iris sebiru lautan milik Anna dengan pandangan... entah, dia seperti mencoba untuk tidak kesal, atau dia tengah kesal namun tidak tahu harus kesal pada siapa.

"Kenapa?" Anna bertanya tanpa basa-basi, mendesah sedikit ketika hembusan air laut yang beraroma garam menerpa tengkuknya, membuat kulit tubuhnya terasa dingin. "Hey," Dia mengernyitkan hidung, "Ada apa dengan wajahmu? Mengapa kau memasang wajah seperti itu?"

"Apakah buku itu menarik?" Justin mengernyit, menyipitkan matanya dan membaca judul yang tertera di atas baris syair berisi kata-kata yang sulit dipahami bagi Justin. On Death. Karya Kahlil Gibran. Holly crap, Justin tidak pernah berpikir bahwa gadis seperti Anna akan suka pada kalimat-kalimat picisan yang sok puitis macam karya si Gibran yang aneh itu.

"Yeah. Ini menarik." Anna mengedikkan sebelah bahunya.

"Lebih menarik dariku?" Justin bertanya, namun sesaat kemudian memutar bola matanya dengan jengah. "Kau tidak bertemu dengan pacarmu selama dua hari, dan kau jauh lebih memilih membaca karya si bodoh Gibran ketimbang berbicara denganku?"

"Memangnya kenapa?" Anna menyahut tak acuh, sambil jari-jari tangannya kembali sibuk membolak-balik lembaran buku yang kertasnya telah menguning itu. Ini adalah salah satu dari beberapa buku yang masih tertinggal di tempat yang dulunya menjadi rumahnya bersama Ibunya—atau penggesek biola yang membawanya kabur dari istana. Wanita itu adalah wanita yang lemah lembut, memiliki darah seni yang kental dengan penampilan menawan yang sederhana. Dia punya rambut cokelat panjang gelap, tubuh yang mungil dan sepasang mata cokelat bening yang terkesan begitu dalam. Raut wajahnya tidak mengesankan sesuatu yang aristokrat, karena memang jelas dia bukanlah berasal dari kalangan bangsawan, namun dia menyimpan kecantikan yang bagi Anna sangat unik. Ibunya itu berbeda dengan dirinya, tentu saja, namun wanita itu sangatlah cantik. Wanita mungil yang suka mendongengkan banyak cerita-cerita indah nan mempesona untuk mengantarkannya ke alam mimpi. Wanita yang memperkenalkannya pada dunia khayal yang sulit digapai oleh mereka yang berpikir terlalu realistis, yang memperkenalkannya pada puisi-puisi Kahlil Gibran, Fereydoun Moshiri dan Jalaludin Rumi. Wanita yang dia rindukan, yang sekarang bayangannya hanya bisa dia temukan dalam desiran pasir dan gelapnya malam.

"Memangnya kenapa?" Justin memutar bola matanya lagi. "Ya ampun, Anna! Aku sudah merelakan diri menghabiskan waktu di tempat ini nyaris seharian! Kau tahu, betapa aku tidak menyukai tempat ini? Tempat ini begitu menyedihkan." Justin menarik napas.

"Mereka tidak pernah melihat pria yang lebih tampan dari Cormac. Wajar jika mereka tidak bisa mengedipkan mata mereka dan selalu mengekori kemanapun kau pergi." Anna berujar lagi, tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang dibacanya.

"Bukan itu." Justin menghembuskan napas, merasa Anna salah mengerti mengenai apa yang membuatnya tidak betah berada di pulau ini. Justin harus mengakui kalau apa yang kebanyakan gadis penduduk pulau ini lakukan begitu mengganggu, mengekorinya kemanapun dia dan Anna pergi, atau mendesis, berbisik-bisik dan berdecak kagum, mengagumi apapun yang tampak dan melekat di tubuhnya. "Hanya saja, tempat ini begitu menyedihkan. Terlalu menyedihkan, membuatku sulit untuk berpikir kalau kau menjalani nyaris seluruh hidupmu di tempat seperti ini."

Blue Daffodil (by Renita Nozaria)Where stories live. Discover now