Chapter 36

527 48 0
                                    

Alec baru saja turun ke ruang makan pagi itu, ketika sebelah alisnya terangkat begitu dia melihat hanya Isabella yang ada disana. Gadis itu tengah duduk menghadapi meja makan sambil menekuri mangkuk berisi autumn salad miliknya, tampak tengah melamun dengan pandangan mata kosong yang menatap ke depan hingga tak menyadari kehadiran Alec sampai Alec duduk di sebelahnya. Kepala Isabella tersentak sedikit, melirik pada Alec, kemudian dia kembali menatap ke depan, keluar jendela, ke arah taman kerajaan yang dipenuhi oleh semak perdu berbunga warna-warni. Alec tidak menghiraukan tingkah adik perempuannya, dengan cuek sebelah tangannya terulur meraih peanut butter and jelly di atas piring besar, menggigit makanan itu kemudian mengunyahnya.

"Bells?" Alec akhirnya menggumam begitu melihat Isabella tidak kunjung memberikan reaksi apapun. Gadis itu hanya menatap ke luar jendela, seakan pikirannya tersedot ke dalam sana. Apa yang dilakukan oleh gadis itu mulai menakuti Alec.

"Hm?" Isabella menyentakkan kepalanya ke arah Alec. "Goodness, apakah kau harus menggangguku sekarang, Alec?"

"Hanya merasa heran. Mengapa kau melamun dengan begitu serius?"

"Hanya berpikir apa sesungguhnya tujuanku hidup di dunia ini." Isabella menjawab samar, kemudian kembali menyendok makanan di mangkuknya. "Aku seringkali bertanya-tanya, apa perananku dalam kehidupan ini. Apakah aku hanya akan terlahir begini, menjalani hidup sambil melihat saudara-saudaraku pergi, dan kemudian mati. Bukankah itu membosankan, Alec? Mengapa harus menghabiskan waktu yang terlalu lama di dunia tanpa melakukan apa-apa? Bukankah pada akhirnya itu hanya akan membuat semuanya jadi sia-sia, karena pada akhirnya kita akan mati?"

"Aku... tidak mengerti." Alec memiringkan kepalanya. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan kepalamu, Bella? Kau jadi... bersikap aneh akhir-akhir ini."

"Itu karena kau jauh lebih memilih menyibukkan diri bersama tumpukan partitur konyol dan pertunjukkan baletmu itu. Kau jadi tidak memahamiku."

"Baik—baik. Teruskan saja lamunanmu itu." Alec mendengus, kemudian bangkit dari kursinya untuk meraih ketel berisi air teh yang berada di meja bar di sudut ruang makan. "Kemana sebenarnya para pelayan? Mengapa mereka tidak ada satupun yang muncul disini?"

"Entahlah." Isabella menjawab sembari mendorong piring makanannya menjauh. Jemarinya meraih serbet untuk membersihkan mulutnya. "Ketika aku datang kesini, aku juga tidak melihat seorang pelayanpun. Mom dan Dad pun tidak ada di kamarnya."

"Ini aneh." Alec bergumam sambil merenung. "Tidakkah kau berpikir bahwa mungkin terjadi sesuatu?"

"Apa yang mungkin terjadi, hm?" Isabella menghembuskan napas. "Bukankah katamu segalanya sudah aman? Kau sudah menyuruh Anna pergi dari Lyra. Sekarang apa lagi? Tanpa Anna, Lady Salvatore tidak akan bisa mengganggu posisi keluarga kita, dan setelah kematiannya barulah kita bisa membawa Anna kembali kemari. Itu kan yang kau katakan padaku kemarin? Alasan mengapa kau menyuruh Anna pergi dari Lyra."

"Aku tahu, tapi..."

Ucapan Alec terputus ketika Isabella menyergah. Mata hijaunya menyipit, menatap pada Alec dengan pandangan penuh curiga. "Atau... itu hanya omonganmu saja untuk menenangkanku, Alec?! Itu hanya omonganmu saja agar aku tidak jadi mencakarmu karena kau menyuruh Anna pergi dari kota ini?!"

"Tidak." Alec menyentakkan kepalanya. "Hanya saja aku khawatir kalau Lady Salvatore bisa melakukannya. Dia bisa saja menemukan Anna jika Jean berkhianat. Kau tahu, kita tidak bisa seratus persen percaya padanya kan?"

Blue Daffodil (by Renita Nozaria)Where stories live. Discover now