Chapter 30

613 41 0
                                    

Ini sudah menit kelima belas Alec duduk di atas kursi menghadapi meja pualam di hadapannya. Saat ini adalah saat dimana anggota keluarga kerajaan akan melewatkan acara minum teh bersama, namun setelah semua yang terjadi kemarin, keadaan berubah seratus delapan puluh derajat. Deretan kursi yang mengelilingi meja panjang itu tampak kosong melompong. Ayahnya, sang Raja, sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya di ruangan itu—Alec tidak tahu apakah Ayahnya merasa marah, malu atau berdosa akan apa yang sudah terjadi kemarin sore. Ibunya sama sekali tidak muncul, hanya mengirimkan pesan bahwa hari ini beliau merasa kurang enak badan, dan karenanya memilih melewatkan acara minum teh di tempat tidur. Isabella... Alec menarik napas. Isabella mungkin sedang sibuk menghabiskan waktu bersama Logan dan Skandar—atau justru tengah mencoba menghibur diri? Entahlah, Alec merasa terlalu lelah untuk memikirkannya. Dia justru mencoba berpikir akan sesuatu yang lain. Laki-laki itu menghembuskan napas, kemudian mengeluarkan sebuah benda dari sakunya. Benda yang telah ada bersamanya selama lima belas tahun terakhir. Benda perak dengan bandul berbentuk pahatan bunga kamelia. Warna kamelia yang selalu membuatnya teringat pada iris biru safir-kehijauan.

Alec menarik napas. Apa yang harus dia lakukan untuk bisa membawa Anna masuk ke dalam istana? Memberikannya kedudukan yang pantas dia dapatkan, melindunginya dari tatapan merendahkan yang biasa orang-orang tujukan padanya. Semakin keras Alec berpikir, semakin tidak ada solusi yang menurutnya masuk akal. Jika dia ingin membawa masuk Anna ke dalam istana, itu artinya dia harus mengorbankan Isabella. Menyuruhnya memilih antara Anna dan Isabella? Jelas itu sangat tidak mungkin. Anna dan Isabella... dua gadis itu adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan. Alec menyayangi keduanya, sepenuh hati, dan tidak mungkin dia memilih salah satu diantara mereka.

Ah, dia bisa gila jika dia terus memikirkan hal ini. Alec berdecak, kemudian mata biru esnya melirik pada jam besar di sudut ruangan. Masih lima belas menit lagi hingga acara minum teh ini berakhir. Alec mengedikkan bahu, menatap cangkir berisi teh chammomile yang telah dingin di hadapannya. Juga kue-kue berlapis gula beraneka warna yang mendampingi cangkir teh itu. Bahkan mereka masih mengharapkannya bisa meneguk tehnya setelah semua yang terjadi? Alec berdecak lagi, lantas bangkit dari duduknya dan baru hendak memberi perintah untuk membereskan cangkir teh dan piring kudapan yang sama sekali tidak disentuhnya ketika mendadak pintu ruangan terkuak. Matanya mengerjap saat dia melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. Jeanneth Salvatore.

"Hanya ada kau disini?" Sebelah alis Jean terangkat, menatap Alec.

"Apa yang kau lakukan disini?" Mata Alec menyipit dengan curiga, dan kerutan di kening laki-laki itu makin dalam ketika Jean melangkah melintasi ruangan lantas duduk di kursi yang menghadapi Alec.

"Aku hanya ingin datang kesini, mewakili ibuku. Kau tahu, biasanya ibuku melewatkan acara minum tehnya bersama Yang Mulia Raja dan Permaisuri. Namun sudah tiga hari ini beliau tidak pernah datang kemari—dan hari ini pun dia tidak bisa datang karena merasa kurang sehat. Aku datang untuk menyampaikan salamnya kemari, namun ternyata hanya ada kau disini."

Alec duduk kembali. "Kelihatannya makin banyak orang yang merasa kurang sehat akhir-akhir ini."

"Apakah termasuk juga kau?"

"Bagaimana kau bisa bicara seperti itu?"

"Entahlah." Jean mengedikkan bahunya. "Kau tampak tidak sehat. Maksudku, kau sedikit pucat. Kau harus baik-baik menjaga kesehatanmu, kau tahu, kau adalah putera mahkota yang kelak akan mewarisi negeri ini kan?" Jean bicara lagi, dengan sedikit esensi mengejek. Tentu saja, dia tidak pernah memuji Alec dengan tulus—meskipun kadangkala Alec pantas untuk dipuji dengan tulus. Tapi tetap saja, ketika memikirkan Alec, yang terbayang di benaknya hanyalah seorang pangeran kecil yang sombong, yang menendang kaki kudanya hingga kuda itu melonjak dan terjatuh. Hingga dia harus melewatkan hari-hari panjang di tempat tidur akibat kaki yang patah. Sejak saat itu, tidak peduli bagaimanapun para puteri bangsawan seumurannya memuji bagaimana tangkas dan tampannya Alec, Jean tidak pernah peduli, meskipun diam-diam Alec telah menawan hatinya sejak lama.

Blue Daffodil (by Renita Nozaria)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang