Bab 2. Pulau Jiandor

4.6K 488 83
                                    

Elden masih tertegun mendengar ucapan sang gadis ketika para pengawalnya mendadak terlempar beberapa meter ke belakang oleh lapisan air yang entah datang dari mana.

"Ahli sihir!" Salah satu pengawal berteriak dan Elden segera yakin si gadis Elfynnlah yang menciptakan serangan tersebut.

"Aku memperingatkanmu, Putra Valda."

Para pemburu segera menepi, membuat jarak sejauh mungkin karena takut terkena sihirnya.

Elden turun dari punggung Brada, menatap tepat ke mata keemasan yang sedang menyipit tajam kepadanya.

"Mengapa harus menempuh jalan yang sulit?" tanya Elden. "Aku tidak akan melukaimu, kau hanya akan ikut denganku ke Saien Malpiris, dan kau akan disambut sebagai tamu kehormatan."

Gadis itu mencebik. "Kalian para manusia tidak pernah memegang janji, hanya karena para Peri tidak memberi kalian hukuman Tanda Dosa."

Tiba-tiba saja, air melayang dari setiap penjuru menuju gadis itu. Setiap tetes embun di dedaunan dan rumput, setiap kabut yang dicairkan hingga genangan becek di lumpur yang jadi kering begitu airnya tersedot dan berkumpul di tangan si gadis. Lantas digerakkannya tangan itu ke arah Elden hingga kumpulan air pun menerjang kepadanya.

Elden berkelit ke samping untuk menghindarinya, tetapi air itu mengikutinya bersamaan dengan tangan si gadis yang bergerak lincah di udara.

Elden melompat ke belakang dan menghunus Gradia, pedang tajam berbilah ganda itu berkilat, suara yang ganjil timbul setiap kali Gradia berbenturan dengan air sang gadis.

Alih-alih menembus lapisan air itu, pedang Elden malah berkerit samar seolah sedang mencoba membelah karang.

Sang gadis memutar tangan kirinya, membuat air bergerak menyelimuti Gradia, lantas menarik tangan kanannya yang sekaligus menarik Gradia kepadanya.

Elden menahan dengan sekuat tenaga, kekuatan yang menariknya bagai gabungan tenaga dua puluh lelaki dewasa. Keringat mulai mengucur di dahinya. Detik berikutnya, dia bersalto ke udara dan menjejakkan kaki di atas lapisan air. Rasanya seperti menginjak es.

"Bodoh," maki sang gadis, ia mengempaskan kedua tangannya dan air segera lenyap terserap ke dalam tanah.

Sisi kiri tubuh Elden sakit sekali saat ia mendarat keras di samping pedangnya yang jatuh berkelontangan. Ia dengan cepat menyambar Gradia dan berguling ke samping untuk menghindari serangan air yang kembali datang.

Sang gadis terengah, merasa letih meski baru menggunakan sedikit kekuatan. Ini hari yang buruk untuk bertarung. Kekuatannya berada di titik terlemah semalam dan tidak akan pulih hingga beberapa hari ke depan. Ia dapat merasakan sihir bergejolak liar dalam dirinya, mencoba mengambil alih dan menolak untuk dikendalikan.

Memanfaatkan lamunan si gadis, Elden bergerak untuk menyerang, ia tipe petarung jarak dekat dengan Gradia di tangan. Setiap serangannya mematikan, namun tampaknya tidak cukup untuk membuat lawannya kewalahan.

Di tengah usahanya melakukan pertahanan, mendadak Elden merasa serangan lawannya semakin merenggang. Air yang sempat berputar riuh ke sana kemari mulai berhenti hingga lenyap sama sekali.

Elden memandang bingung pada sang gadis yang tampak kesakitan, mulutnya megap-megap seolah udara sudah enggan melewati hidungnya. Tubuh gadis itu mengentak, berkilat samar sebelum jatuh menghantam tanah. Hilang kesadaran, entah pingsan atau mati. Kemungkinan kedua rasanya cukup mustahil mengingat Elden belum memberinya luka yang cukup berarti. Serangannya bahkan belum ada yang mengenai tubuh si gadis.

"Apa yang terjadi?" tanya Elden bingung, lebih kepada dirinya sendiri.

Langkah Elden begitu hati-hati dan penuh keraguan ketika menghampiri sang gadis. Gradia ia kibas-kibaskan di depan mata lawannya yang kini diam tak bergerak. Tak ada respons, mungkin pada akhirnya nasib baik berpihak padanya setelah lelah terus menghindar.

The Soul of the Moon [ON HOLD]Where stories live. Discover now