Bab 6. Jiwa Lain

2.3K 318 69
                                    

Kehebohan menyebar di Domuin Eterma, semua orang berbisik dan para bangsawan Aeterra bergerak dengan gelisah. Tidak ada wanita yang pernah turun ke dalam pertarungan pedang. Dalam bangsa Elfynn, mengangkat pedang bagi wanita merupakan hal yang tabu dan memalukan. Sebab itu mereka semua memandang Aretha dengan ekspresi tidak nyaman.

"Saudariku, kautahu sendiri hal seperti itu tidak diperizinkan bagi wanita. Apalagi kau seorang putri, wanita bangsawan sepertimu tidaklah dibenarkan untuk mengayunkan senjata," bisik Amoreta, wajahnya terlihat sangat terganggu.

Aretha tidak mendebat ucapan saudarinya, tangannya dengan lihai menyambar pedang milik Azra. Namun, refleks pemuda yang ratusan tahun lebih tua darinya itu amat baik hingga kini pergelangan tangannya telah berada dalam genggaman sang pengawal.

Dua pasang iris emas saling menatap. Azra memecah senyap di antara mereka dengan berucap, "Anda tidak diperizinkan memegang senjata."

"Tetapi aku mengizinkannya mengambil alih tantangan dariku, Kesatria Azra Azia," seru Pangeran Loid dari tengah arena.

Terberkatilah Malka yang menganugerahinya pendengaran luar biasa. Sedari tadi telinganya sudah panas mendengar setiap celaan ketiga saudara Aeterra, dan akan menjadi sebuah pembalasan yang menyenangkan dengan mempermalukan salah satunya di tengah arena. Yang mana pun tidak masalah.

Pangeran Loid awalnya ingin mengalahkan Arata dalam pertarungan pedang, sebab itulah satu-satunya cara ia dapat membalas dendam tanpa orang menyadari niatnya. Tetapi putri termuda, yang reputasinya di kalangan rakyat Aeterra juga bangsawan kerajaan lain tidak begitu bagus, malah mengajukan untuk mempermalukan dirinya sendiri. Sungguh target yang sempurna.

"Aku mengizinkan Putri Aretha menggantikan Pangeran Arata untuk melawanku!" seru Pangeran Loid dengan suara yang lebih keras.

Penonton kembali terenyak, Raja Arbura di singgasananya masih bergeming dan hanya menghela napas.

Arata yang keterkejutannya pulih kini menatap berang pada sang pangeran dari Negeri Musim Gugur itu. "Tidak akan ada wanita yang bertarung di Domuin Eterma, Pangeran Loid dari Neaterra. Aku sendiri menyatakan menerima tantangan darimu."

"Oh, apakah adat pertarungan sama sekali telah dilupakan di Aeterra?" tuntut Pangeran Loid, sudut bibirnya terangkat membentuk seringai. "Apakah engkau lupa, Pangeran Arata Arda-urum dari Aeterra, bahwa menurut adat yang telah tercipta di antara bangsa kita sejak ratusan tahun lalu, setiap orang berhak mengambil alih tantangan dengan izin sang penantang?"

Arata menggeram, rahangnya mengeras dalam ekspresi murka yang kentara.

Namun, rupanya Raja Arbura memutuskan untuk mengakhiri perdebatan tersebut. Sang pemimpin Aeterra berdiri, menatap satu per satu pada setiap pasang mata yang dipenuhi rasa penasaran. "Adat pertarungan tidak akan dilupakan di tempat di mana adat itu sendiri lahir, Pangeran Loid dari Neaterra. Putriku yang paling muda, Aretha Arda-fra Maletara Elfynnea, akan menjadi lawanmu dalam pertarungan pedang."

Semua bangsawan Aeterra berdiri seraya menatap raja mereka dengan terkejut, sementara yang ditatap kembali duduk tenang di singgasananya.

"Baginda Raja." Pria bercambang lebat yang duduk di antara barisan pejabat tinggi istana memohon untuk bicara. Akan tetapi, sang raja menggeleng dengan sorot mata tajam, dan hal itu cukup untuk membuat si pria kembali duduk.

"Ayahanda Raja, mohon pertimbangkanlah kembali. Hal seperti ini tidak pernah terjadi dalam sejarah bangsa kita." Kening Amoreta berkerut dalam, ia bahkan enggan membayangkan bagaimana saudarinya akan menjadi bahan gunjingan di ketujuh kerajaan.

"Ayahanda Raja telah memutuskan, Amoreta," kata Aretha dengan sepasang iris emas yang masih menatap lekat pengawalnya, "dan aku tidak akan menentang apa yang dikehendakinya."

The Soul of the Moon [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang