09.45 - 10.10 PM

14.8K 1.4K 80
                                    

Riuh. Pengang. Bising.

Terkadang saya sendiri bertanya-tanya bagaimana bisa seorang perempuan yang anti keributan sangat menikmati sebuah pertunjukan musik berisik bersistem audio seadanya. Remang di dalam sebuah kedai kopi minim ventilasi. Gerah. Asap rokok mengepul dimana-mana.

Dengan berat hati saya meninggalkan kedai sebelum panggung selesai. Menyempatkan mengambil sekeping CD dari rak kecil di samping meja kasir, mengamati sampulnya, baru membelinya sembari membayar pesanan kopi saya yang sudah tandas sejak dua jam lalu. Udara malam Bandung dan rintik-rintik kecil gerimis menyambut saya di lahan parkir, seperti menyuruh saya untuk cepat-cepat kembali ke kamar kos dan meringkuk di bawah selimut sampai besok pagi. Saya juga tidak mengerti mengapa tubuh saya tidak kunjung kebal dengan hawa dingin kota ini meski sudah meninggalinya selama hampir tiga tahun.

Sayangnya perjalanan terhambat karena saya tidak punya bakat dalam urusan parkir-memarkir roda empat; moncong mobil saya menghantam mobil di depannya. Bunyi besi berbenturan diikuti alarm mobil yang melengking nyaring membuat saya dihampiri beberapa petugas keamanan.

"Waduh, hati-hati Neng..." kata mereka bersahut-sahutan.

"Iya, maaf Pak. Ga sengaja saya..."

"Sebentar ya. Saya coba panggilkan yang punya mobil di dalam."

Mampus, sumpah saya dalam hati.

Pertama, saya tidak pernah menabrak sendirian sepanjang sejarah menyetir saya. Kedua, saya belum siap untuk menabrak sendirian dan dimintai pertanggungjawaban, lebih-lebih kalau ternyata pemiliknya adalah bapak-bapak galak berkumis tebal yang perut buncitnya diikat pinggang secara paksa. Ketiga, lima belas menit yang terbuang untuk menunggu pencarian si empunya mobil seharusnya bisa saya gunakan untuk lanjut menonton acara. Ck.

"Nih, Neng, yang punya mobil."

Saya mendongak.

Lantas menyesal telah mendongak.

Seketika itu juga seluruh bagian tubuh saya seperti ikut bereaksi: bahu yang cepat-cepat melepas diri dari bersandar di pintu mobil, tangan yang tak lagi bersilang dada, dan kaki yang mendadak ingin berhenti menendang-nendang kerikil.

Yang utama, sih, irama denyut jantung saya menjadi tidak terkendali.

Selama lima detik, dari empat orang yang ada di tempat kejadian, belum ada satupun yang mulai berbicara. Seolah-olah bunyi alarm mobil yang masih melolong itu tidak lagi jadi perkara.

"Yaudah, Pak. Bapak tinggal aja. Biar kami yang urus berdua." Kata pemilik mobil akhirnya.

Saya lalu melihat dia.

Dia kembali melihat saya.

Tiba-tiba saya merasa berhadapan dengan bapak-bapak galak berkumis tebal yang perut buncitnya diikat pinggang secara paksa bukanlah sesuatu yang buruk-ketimbang secara tak terduga bertukar tatap dengan, dari semua orang di dunia, Aldebaran Abimanyu. Keterkejutan masih kentara bersimbur dari sepasang bola matanya, seperti ia hendak menyapa, tapi juga bertanya-tanya apakah benar yang ialihat adalah saya.

Dipandangi dengan wajah sedemikian bingung, tentu saja saya tidak kalah gelagapan.

"Itu... mungkin, alarmnya bisa dimatiin dulu?"

"Oh iya."

Dia menekan remote mobilnya.

"Maaf," kata saya gugup selagi Ale membungkuk memeriksa bumper belakang mobilnya sendiri. "Mobil aku gak kenapa-napa, mobil kamu yang kena."

"Wow, hebat juga mobil kamu Van."

Saya mengusap-usap lengan separuh kikuk, separuh bentuk pengalihan karena saya merasa ada desiran aneh di dalam tubuh saya ketika mendengar nama saya disebut.

"Gimana dong?"

"Ya udah," ia kembali menegakkan tubuh dan menatap saya. "Mungkin besok baru bisa aku bawa ke bengkel."

"Trus ganti ruginya?"

"Gampang lah itu. Kamu punya nomer aku, kan?"

Saya terdiam. Ale mengerjap. Seperti terkejut tidak mendapat balasan.

"...apa udah dihapus?"

"Nggak, nggak. Belum, kok." Tangan saya mengibas-ngibas salah tingkah. "Yaudah nanti kabari aku aja, ya."

"Trus ini kamu mau pulang?"

"Iya."

"Nggak apa-apa?"

"Memangnya kenapa?"

"Yaa, gapapa..." jawabnya menggantung, sebelum tangannya bergerak mengusap tengkuk sementara ia menekan bibirnya membentuk satu garis tipis. Saya tahu Ale yang demikian pasti sedang merangkai kata-kata di dalam kepalanya. "Cuma biasanya orang abis nabrak suka susah konsentrasi di jalan, sih. Apalagi macet. Kalo kamu nggak keberatan aku bisa setirin sampe kosan."

"Hah, oh, nggak, nggak masalah kok. Tadi kagetnya cuma bentar." Bukan jawaban yang oke sih, Van. Saya nyaris menepuk kening saya sendiri.

"Oh, gitu. Yaudah deh. Hati-hati ya."

"Ngomong-ngomong, kamu, bukannya lagi...?"

Ia tersenyum tipis, "Barusan selesai kok. Sekarang giliran band yang lain."

"Oh."

Begitulah percakapan kami berakhir. Ale mengambil langkah menepi sementara saya masuk ke dalam mobil dan mulai menyalakan mesin.

Lalu menggerutu.

Lupa kalau saya yang saat ini tidak ada bedanya dengan saya lima belas menit lalu. Masih tidak punya bakat dalam urusan parkir-memarkir roda empat.

Kening Ale mengernyit ketika saya kembali keluar dari mobil.

"Kenapa, Van?"

"Kayaknya aku harus dibantu buat ngeluarinnya, deh."

Ale tercengir lebar. "Ivana... Ivana..." gumamnya sebelum masuk dan duduk di balik kemudi, yang saya yakini juga tak kalah menertawakan kemampuan menyetir saya.

Tidak sampai dua menit kemudian mobil saya sudah terbebas sebebas-bebasnya dari lapangan parkir. Yang saya benci, pemandangan Ale yang tengah memegang setir dari balik kaca dan ayunan wiper seolah-olah sedang mempermainkan pendirian saya. Pikiran saya berdebat selama sekitar tiga detik, namun kaki saya keburu mengambil keputusan duluan. Dengan gerakan cepat mereka melangkah begitu saja memasuki jok penumpang.

Terduduklah saya tepat di samping Ale.

Bisa saya rasakan mata dia yang memandangi saya penuh tanya meski saya tidak sedang melihatnya.

"Jadi males nyetir nih kalo ada yang nyopirin."

Mendengar itu Ale spontan terbahak. Bohong bila saya berkata saya sendiri tidak kepalang senang mendengar suara tertawanya. Rasanya kekakuan-kekakuan yang sejak tadi menyelimuti kami seketika menguap entah ke mana. "Kamu tuh, gak berubah ya?" Imbuhnya, masih tertawa.

"Ya kamu sih nawarin segala."

"Yaudah, yaudah. Kosannya nggak pindah, kan?"

Saya menggeleng. Mobil melaju.

Distant DustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang