11.45 PM - 12.00 AM

10.7K 1.3K 214
                                    

Selama sekian jam saya menghabiskan waktu bersama Ale, hening kami belum pernah sebisu ini. Sesekali saya menggerakkan jemari saya sendiri, masih merasakan sisa-sisa kehangatan tangan Ale beberapa menit lalu sambil menerka-nerka apakah di balik wajah tenangnya itu, di sela-sela jarinya yang kini kembali melingkar erat di kemudi itu, ia juga merasakan hal yang sama?

Lantas saya menggeleng kecil. Tetap saya keras kepala dan enggan bertanya.

Ale masih tak bersuara bahkan hingga bermenit-menit selanjutnya-hingga mobil saya terparkir diam di halaman depan kos-kosan dan hingga kami sama-sama keluar untuk tidak melakukan apapun setelah itu. Hanya bersandar bersebelahan di depan kap mobil. Bergeming. Saya menatap jatuh ke gantungan kunci mobil saya dengan kikuk, Ale mengetuk-ngetukkan jemari ke pahanya sendiri.

"So." Saya memulai. Dia menoleh sebentar, lalu menunduk sambil samar-samar tersenyum tawar. Seakan-akan ia kecewa dengan perbuatan saya yang, mungkin, akan menjadi awal dari selamat tinggal kami yang kedua.

"So?"

"I guess this is it. Kita ketemu lagi. Ngobrol. Makan. And you are going to go home."

"Iya. Terlalu cepet ya?"

"We can still meet again, though."

"Should we?"

"I don't know. Should we?"

"Nanti dia marah."

"Siapa?"

"Pacar kamu."

Pacar kamu.

Saya tidak yakin istilah itu berlaku sepenuhnya, juga saya tidak punya cukup tenaga untuk berdalih, tapi tetap saja mendengarnya dari mulut Ale membuat hati saya mencelos.

"Iya. Maybe... Maybe he would." Balas saya. Ragu.

Ketika saya menatapnya, Ale sedang mengangguk-angguk tanpa suara seperti tengah bermonolog dalam hati.

"Mau ketemu dia nggak?"

"Hah?"

"Itu, si Sam. Kosan dia ada di seberang."

"Oh... Sekarang?"

Spontan saya tertawa. "Bercanda, Ale."

"Yang mana yang bercanda?"

"Yang aku nawarin kamu ketemu dia."

"Berarti kosan dia beneran di seberang?"

"Beneran."

"Bagian dia pacar kamu, bercanda juga nggak?"

"Nggg, nggak bisa dibilang pacar, sih. But I don't want to make things complicated."

"Kamu banget."

"I know, right?" saya tersenyum ke arah dia, begitu juga sebaliknya. Padahal saya yakin sesungguhnya senyum kami terbentuk karena kami sedang, lagi-lagi, saling menutupi.

Akan selalu ada perasaan bersalah yang menggerayangi saya bila bicara soal Samudra. Benar memang, kalau saya menyukai dia. Saya suka karena dia selalu ada, selalu menerima saya apa adanya, selalu berkata tidak apa-apa. Bahkan jika setelah ini saya menelepon dia dan menceritakan apa yang terjadi pada saya dalam kurun waktu tiga jam sampai, katakanlah, saya menangis sejadi-jadinya, mungkin Samudra akan tetap berkata tidak apa-apa. Tetap meyakinkan saya bahwa saya hanya butuh waktu, kendati saya percaya bahwa saya butuh lebih dari itu.

Lain halnya dengan saya terhadap Aldebaran, saya menyukai Samudra karena dia bersedia mengerti.

Saya menyukai Samudra, sayangnya, bukan karena dia adalah dirinya sendiri.

Distant DustWhere stories live. Discover now