10.55 - 11.45 PM

7.2K 1.2K 234
                                    

"Udah makan?"

Apakah itu adalah sebuah ajakan, ataukah semata-mata pertanyaan yang Ale ajukan demi memecah keheningan yang sudah terjadi selama hampir lima menit? Entahlah. Pada akhirnya saya tetap menggeleng. "Belum."

"Mau makan nggak?"

Bibir saya bergerak kecil menahan senyum.

"Kamu bayarin nih?"

"Ya Allah, udah mobil gua ditabrak, disuruh bayarin makan pula."

"Haha iya iya bercanda!" Saya meninju bahu dia lagi. "Mau makan di mana?"

"Mau ayam madu."

"Kamu tuh... punya tempat lain buat makan ngga, sih?"

"Daripada terserah? Mau? Dijawab terserah?"

Kembali terbentuk senyum simpul di bibir saya.

Satu hal yang paling saya sukai dari Ale; dia selalu punya rencana. Rencana menonton. Rencana makan berdua. Rencana berlibur ke Jogja naik kereta. Rencana mengunjungi kediaman saya di Surabaya. Rencana akan mengenakan baju apa untuk sidangnya. Rencana masa depannya. Terkadang saya merasa hidup saya kelewat tidak terorganisasi untuk sekadar mendampingi dia menyusun rencana-rencana dia yang lainnya. 

Terkadang saya merasa diri saya terlalu berkaru dan berantakan.

"Van? Malah ngelamun."

"Iya deh boleh. Tapi yakin tuh ada tempat?"

"Adaaa."

"Sampe ga ada beneran kamu yang bayar nih ya?"

Tangan Ale membentuk gestur hormat, yang hanya bisa saya balas dengan gelak singkat.

Kami tiba di tempat tujuan sekitar sepuluh menit kemudian. Melihat kondisi warung kaki lima favorit Ale justru membuat lapar saya berganti menjadi lengar, sampai-sampai saya ingin sekali melempari wajahnya dengan kotak tisu andai, satu, dia bukanlah orang yang beberapa tahun lebih tua daripada saya dan, dua, saya sudah tidak ingat lagi apa itu sopan santun.

"Dibilangin juga apa, gak mungkin kita dapet tempat parkir."

"Sssh pasti dapet tenang aja." jawab dia begitu percaya diri (sambil terus menjalankan mobil semakin dan semakin menjauh dari tempat yang ditujunya.)

Keinginan untuk melempari wajah Ale dengan kotak tisu makin menjadi-setelah hampir seratus meter kami melewati kendaraan-kendaraan bermotor yang terparkir berderet-deret di tepi jalan.

Seratus meter.

Kami harus berjalan sejauh seratus meter.

Bila bukan karena kursi yang masih tersedia ketika kami tiba, mungkin saya sudah benar-benar kesal. 

Tanpa perlu bertanya kepada saya Ale buru-buru memesan dua porsi ayam bakar madu serta dua gelas es jeruk, satu dengan sedikit es batu dan satu lagi dengan gula lebih banyak—semua ia ucapkan di luar kepala selayaknya rentetan doa sebelum makan. 

Duduk berhadap-hadapan, secara tidak sadar kami mulai membicarakan banyak hal. Entah itu perihal kondisi keluarga saya, jurusan yang sedang saya jalani, dosen-dosen saya, teman-teman baru saya, juga tentang dia—pekerjaannya, rutinitas barunya, kerinduan dia terhadap kegiatan-kegiatan semasa mahasiswanya. Sesekali salah satu di antara kami tertawa, agak-agak terlalu kencang sampai orang di sekitar menengok dan ikut tersenyum seolah-olah tertular bahagia. 

Percakapan sempat terhenti waktu saya mendengar suara petikan gitar dari tenda warung sebelah.

"Eh gila, enak banget suaranya." ujar saya sambil berusaha mencuri-curi pandang dari sela-sela spanduk.

Distant DustWhere stories live. Discover now