10.10 - 10.30 PM

8.1K 1.2K 171
                                    

Menakjubkan bagaimana dulu berkonversasi di dalam mobil adalah hal yang selalu menempati urutan kedua terfavorit saya setelah sosok Ale sendiri-sebab saya bisa mendengar dia dengan jelas, membaca ekspresi wajah dia sebebas-bebasnya, juga menyetel sembarang lagu yang saya suka sambil menikmati kentang goreng McDonald's.

Sayangnya kali ini saya bahkan sangsi bila saya masih berhak mengerling ke arah dia barang sejemang. Bukan berarti tidak boleh. Apakah saya mampu atau tidak adalah masalahnya.

"Trus nanti kamu baliknya gimana dong?"

"Iya. Gimana ya." balas dia sedatar-datarnya seolah minta ditertawakan-dan iya, saya memang tertawa. "Tapi santai sih. Di daerah kamu kan angkotnya 24 jam."

"Yah, masa artis abis manggung naik angkot?"

Ale hanya terkekeh pelan. Tangan kanannya yang tidak sedang memegang setir mengusap-usap dagunya sendiri dengan gerakan teratur, lalu menggulung kembali lengan kemejanya yang meluruh sekian sentimeter. Kadang ia juga meyisir rambut tebalnya dengan jari, kemudian diacaknya lagi, baru menggeleng-gelengkan kepala seperti anak anjing yang baru dikeramasi.

Aduh, kenapa jadi saya perhatikan, sih?

"Tadi kamu nonton?"

Saya mengangguk. "Nonton, tapi ngga sampe selesai. Dan aku ngga nyangka lho itu beneran kamu. Kirain kamu udah pulang permanen ke Depok."

"Ini juga pertama kalinya ke sini lagi nih. Kangen sih, udah lama ga megang keyboard sambil diliatin orang-orang Bandung. Hahaha."

"Emangnya Enam Hari ke mana?"

"Ga kemana-mana, kok. Cuma lagi pada sibuk cari kerja aja. Si Jae terutama."

"Oo... Masih begitu-begitu aja dia?"

"Ya kamu berharap gimana sih Van? Jae tuh lulus aja telat dua tah-EITS!"

Dengan cepat Ale menginjak pedal rem sambil mengklakson kencang-kencang, sampai-sampai saya refleks menggenggam sabuk pengaman saya sendiri saking terkejutnya. Sepertinya semesta memang tidak memperbolehkan kami menggunjing bule yang satu itu, deh?

"Yee nyerobot aje si Bapak! Kamu jangan sampe gitu ya, Van. Sayang umur."

"...gimana?"

"Maksudnya lulusnya." Ia tertawa sendiri. "Ya jangan nyerobot kayak bapak tadi juga sih-eh kamu mah mana berani barbar di jalan ya? Tapi iya maksudku tadi lulusnya. Elah apa sih Le?? Intinya jangan telat lulus deh!"

Perut saya jadi tergelitik gemas melihat tingkah laku dia.

"Haha iya, iya. Doain aja deh tahun depan bisa lulus. Stres nih lama-lama kuliah."

"Tuh. Ngerti kan sekarang rasanya?"

"Rasanya jadi yang dulu suka nelepon malem-malem nangisin skripsi?"

"Enak aja nangisin!"

"Salah sendiri kuliah kerjaannya malah ngeband."

"Ngeband tapi lulusnya cum laude."

Kembali lagi dengan Aldebaran dan jurus andalannya: pamer kemampuan otak yang tidak dipunyai sembarangan orang. Saya semakin percaya Tuhan sedang dalam mood yang baik saat Dia memberkahi Ale dengan berbagai macam hal: penampilan yang menarik, kepribadian yang baik, dan kepandaian nyaris dalam segala bidang kehidupan-kecuali tentu saja, olahraga.

"Ngalah deh gue kalo yang dibawa-bawa IP."

Lalu dia tergelak dengan begitu manisnya, membuat bibir saya jadi terundang untuk ikut tertawa. Sekelumit bagian dari hati saya bersyukur, bayangan dialog-dialog mengerikan soal masa lalu ternyata tidak menjadi seburuk dan semelankolis yang saya kira.

Sampai tibalah detik di mana ia bertanya:

"Trus... sekarang kamu masih sendiri?"

Mendengar pertanyaan yang paling tidak saya harapkan diajukan oleh siapapun manusia apalagi Ale, membuat saya mendadak tidak ingin terus terang. Tapi toh apa gunanya juga berbohong?

"Hmmm, ngga bisa dibilang sendiri juga sih..."

"Oh... ada? Siapa?"

"Kasih tau nggak ya?"

"Jangan bilang tugas."

"Enggak lah! Jadiii... Namanya Sam. Samudra."

"Samudra," dia mengulang, seperti sedang menanam nama itu di dalam otak. "Jadi Sam adalah?"

"Dia anak band juga."

Seketika itu pula saya merutuki diri saya sendiri. Di antara semua informasi yang saya punya seperti bahwa Sam adalah teman seangkatan saya, atau bahwa dia ngekos di daerah yang sama juga memiliki zodiak yang sama, atau bahwa dia berasal dari Jakarta, saya memilih dia anak band juga. Ya Tuhan, saya hampir bisa mendengar Ale menertawai saya dalam hatinya.

"Syarat harus bisa main alat musik tuh masih berlaku ya di kamu."

"Bisa jadi. Eh tapi bukan itu sih yang bikin aku suka."

"Apa dong?"

"Hmm," saya membetulkan posisi duduk saya sampai terdengar gemeresak. Tanpa sadar tangan saya bergerak megusap belakang telinga, seolah-olah gerakan itu bisa membantu saya mencari traits Sam yang saya suka, yang membuat dia berbeda dan harus berbeda dari yang lainnya.

"Dia pinter, anak teknik, and he is a very warm human being. He has the skills, you know, talking to him always makes me feel like I am home, like I'm being appreciated for my existence. He helps me through a lot of hard times, too, maybe because he is just very entertaining and funny. Well, Sam is... he is an amazing person." Saya mengambil jeda sejenak. "Tapi yang paling penting sih dia ganteng."

Mungkin salah saya bereskpektasi Ale akan, lagi-lagi, tertawa mendengar kalimat terakhir. Tapi nyatanya dia diam saja. Matanya terlempar jauh ke jalanan di depan, bergerak-gerak seperti sedang berpikir. Dan Ale yang sedang berpikir adalah Ale yang selalu sukses membuat saya ketar-ketir sendiri.

"Do you know that you sound very happy just now?" Tanya dia akhirnya.

"Oh ya? Ya... maybe I'm happy."

"Glad that you are."

Iya.

Mungkin.

Sejujurnya saya pun ingin menanyakan apakah dari sekian banyak perempuan yang mendekatinya dari sebelum ia mengenal saya, sudah ada minimal satu yang dia pilih untuk-jika saya diizinkan besar kepala-menggantikan posisi saya? Mengetahui hampir dua tahun terlewati sejak perjumpaan (yang benar-benar perjumpaan) terakhir kami.

Tapi entahlah, tiba-tiba saya tidak punya nyali jika pada akhirnya dia berkata ada.

Distant DustWhere stories live. Discover now