Bab 15 - Kesadaran Universal

858 60 6
                                    

Penerimaan adalah kunci. Demikian pelajaran yang bisa diterapkan Jaya menghadapi keanomaliannya. Perlahan dan pasti Eyang Wiro membimbingnya. Bila mendapati yang sulit dipahami, terima saja dulu, jangan gegabah berbuat sesuatu terhadapnya, bisa jadi tindakanmu keliru.

Terima sebagaimana adanya. Jaya pun menerima kondisinya.

Pada mulanya memang ia ngeri setengah mati. Baru-baru ini ia berbalik pendapat. Jaya putuskan untuk menyukai meragasukmanya.

Sebab ia lupa. Maka dahulu ia begitu menderita saat sukmanya meraga tanpa izin. Kini, saat ia sadar apa yang mampu ia lakoni, lebih mudah melewati dan menyadari. Jaya telah mampu meragasukma dengan kesadaran yang masih terkait.

Ia ingat momen lepas raganya itu. Ia menjadi sosok keperakan dan jejaknya tertera sepanjang jalan supaya nanti lebih mudah kembali ke raga. Ia melihat sosok-sosok halus bertebaran di mana-mana. Tapi kesemua mereka tak menyadari kehadirannya. Segala demit dan hantu-hantu yang berlalu lalang dari mulut ke mulut, bisa kini ia lihat jelas.

Uji pertama ia tidak bergerak terlampau jauh. Karena begitu ia bangun, tubuh amat lelah dibuatnya.

"Efek perjalanan sukma terhadap tubuhmu bergantung seberapa kesadaranmu mengenai perjalanan sukma." Kata Eyang Wiro.

"Maksudnya apa Eyang?" Jaya bingung.

"Artinya kau harus seutuhnya percaya. Percuma jika kau punya bakat tapi tak punya kesadaran penuh terhadapnya. Jadinya sia-sia. Betul tidak?"

Jaya manggut-manggut. "Betul Eyang. Aku mau tanya, apakah orang sepertiku ini banyak?"

"Yang sepertimu sangat jarang, hampir nihil malahan. Karena sukmamu meraga dengan sendirinya, sudah menjadi fitrahnya untuk begitu. Diri sadarmu tak perlu bersusah payah untuk mengupayakan pelepasan raga. Sedangkan orang-orang yang melakoni ilmu-ilmu tentang perjalanan astral banyak, namun sedikit yang benar-benar mengalaminya atau menyadarinya."

"Eyang bisa?"

Eyang bergeming. Mengambil jeda sembari menyeruput kopi pait kental. "Aku mengetahui teori prakteknya. Mungkin aku sudah pernah meragasukma, tapi secara tak sadar."

"Apakah Eyang bisa melihat sukma-sukma yang tengah mondar-mandir?"

"Tergantung apakah diri sadar sukma itu mengijinkan atau tidak. Aku sedikit bisa melihat."

Entah mengapa, Jaya merasa Eyang sedang tidak jujur.

"Eyang bisa melihat sukmaku?"

Eyang Wiro hanya mengangguk pelan.

Pada uji berikut-berikutnya, Jaya mendapati wujud sukmanya begitu halus hingga mampu menembusi tembok-tembok padat. Lambat laun ia mulai menyadari apa yang mampu diperbuatnya.

Maka itu, sukmanya mampu berjalan lebih jauh. Ketika kembali ke alam sadar, tubuhnya tak lagi ekstra lelah.

Jaya membaca buku-buku referensi mengenai astral dari lemari baca Eyang Wiro. Dikatakan untuk melakoni perjalanan astral, diperlukan upaya ketenangan lahir batin yang dapat diperoleh dari semedi. Ada tujuh titik dalam tubuh yang bilamana diaktifkan mampu mengantar sukma untuk melepas raga. Setiap titik memiliki syaratnya sendiri yang sayangnya tak mudah dilalui. Untunglah Jaya tak perlu repot-repot mengikutinya. Ia hanya perlu menyadari.

Terutama sadar tentang diri sendiri.

Ia menerima diri yang saat ini. Mengenai ingatan hilangnya, ia terima saja. Bukan berarti ia tak hendak mendapatnya kembali. Hanya saja, orang perlu berjalan ke depan. Bukan ke belakang.

"Jadi, apakah aku ini spesial Eyang?"

"Tergantung bagaimana kau memaknai ke'diri'anmu. Bila kita mampu menemukannya, semua insan bisa dikatakan spesial. Bukan hanya sekedar merasa atau dikata spesial oleh orang lain."

"Kita spesial dengan cara kita sendiri." Jaya kemudian teringat Desi Nanda, gadis spesial di hatinya. Hari-harinya menjadi komplit bila ada gadis itu. Pada malam-malam tenang, ponselnya tak berhenti bergetar menerima pesan manis manja dari gadis jelita pujaan hati.

Jaya menyadari ada getar-getar di hatinya. Seperti senar bass yang teresonansi. Mengundang untuk dibetot dan melantunkan dentum nada pemercik dansa. Menggerakkan darah ke sekujur badan hingga hangat. Hangat yang kemudian merembes ke hati. Memerahkan wajah. Dan pada suatu malam spesial, teriring suasana malam sepi di puncak bebukitan landai tempat muda mudi melenakan waktu, bibir gadis jelita itu terbukti manis dan lembut.

Tak mampu keduanya membahas hal itu. Yang ada kemudian mereka saling menanti momen-momen spesial macam itu lagi.

Rasanya seperti meragasukma, ciuman itu. Kita melayang jauh terbang. Sebuah cicipan mungil untuk merasakan apa yang ada di balik awan kahyangan. Keindahan. Kesadaran bahwa ciuman itu membahagiakan.

Hati terkembang dan benak jadi tenang.

Kembali ke realita. "Supaya kau bisa lebih jauh lagi melakukan perjalanan sukma, kau perlu mengetahui tentang kesadaran universal."

"Lebih jauh bagaimana Eyang?"

"Kau bisa berada di dua tempat secara sekaligus. Perjalanan tidak selalu hanya bisa dilakukan dengan cara fisik. Itulah yang hendak ditawarkan Astral Travel Agent."

Jaya menganga membayangkan. "Seperti teleportasi."

"Pada nantinya bisa seperti itu. Melompati ruang dan waktu. Dari materi ke imateri mewujud materi lagi. Jangan risaukan sekarang, kuyakin kau mampu melakukan hal itu nanti. Bila kesadaran universalmu sudah kuat."

"Jadi, apa kesadaran universal itu?"

"Dia adalah landasan bagi kegiatan Astral ini. Kita memercayai bahwa apa yang tercipta di alam dunia, pada dasar intinya yang terdalam adalah sama. Kita semua adalah kumpulan partikel. Kumpulan atom. Kita semua berasal dari ketiadaan."

Jaya berpikir keras sementara Eyang Wiro bersiap mengeluarkan pelajarannya. "Jadi jika kita mampu 'merasa' bagai atom, dan kesadaran kita mengisinya, kita bisa berpindah tempat dalam sekejap?" Jaya asal membuat konklusi dini.

"Pikirmu terlalu dini. Tapi ya, kurang lebih seperti itu. Kita harus memosisikan diri hingga dapat membaur dengan alam. Merasakan sambungan terdalam dan menemukan jalur jiwa. Hanya orang-orang tertentu dengan tingkat kesejatian diri yang mumpuni bisa meloni ini."

"Sulit ya Eyang?"

"Sangat sulit untuk manusia biasa."

"Jadi, bisakah aku melakukannya?"

"Kau jangan tanya aku. Tanya saja dirimu. Kau sendiri yang mampu menjawabnya. Karena di sini yang memiliki bakat meragasukma alami bukan aku."

"Oh iyaya." Jaya menyeringai tolol.

"Dan bila berhasil, maka aku bisa memercayakan bisnis sesungguhnya Astral Travel Agent ini kepadamu."

Jaya sudah tahu maksud dari nama bisnis ini.

"Dan jangan lupa untuk selalu pakai cincin itu." Pesan Eyang. "Kau hanya boleh melepasnya di sini."

"Hmm, berarti aku hanya boleh melepas raga dari sini?"

"Itu kau tahu. Jaya, ketahuilah, bakatmu ini banyak diincar pihak jahat. Pihak jahat ini tidak berasal dari golongan kita manusia. Cincin itu melindungimu."

Jaya jadi ngeri sendiri. "Baik Eyang, tidak akan kulepas."

"Ambillah waktu untuk mendalami tentang kesadaran universal ini. Hayati maksudnya. Kau mampu, Jaya."

Jaya mengangguk dalam lalu kembali ke kontrakan. Tak sabar bertukar sapa sebelum tidur dengan gadis jelita. Ucapan pengantar tidur terucap, kemudian Jaya menggenangi benak dengan pikiran tentang Kesadaran Universal.

ASTRAL TRAVEL AGENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang