B A B 2 0

2.1K 161 2
                                    

||20||
p r i m o

------

Failure is a postponed success.

------

Sean menggantung tasnya di kursi meja belajarnya, lalu menghempaskan badannya yang masih terbalut seragam putih abu-abu itu ke atas tempat tidur.

Ketika dia membuka pesan yang dikirimkannya pada Bella, dia seketika merasa sangat bodoh. Seharusnya dia tahu, gadis itu takkan membalas pesannya. Lihat, bahkan membacanya saja tidak. Dan ini sudah hampir 24 jam.

Ia menghembuskan nafas lamat-lamat, lalu beranjak menuju lemari pakaiannya dan mengambil sebuah kaos santai serta celana pendek selutut, dan membawa sebuah handuk ke dalam kamar mandi.

Suara air yang menghantam lantai keramik kamar mandi terasa menenangkan, dan air yang membasahi kepalanya membuatnya bisa beristirahat sejenak dari pikiran-pikiran yang membebaninya.

Tak lama, Sean sudah rapi dan wangi kembali dengan baju yang tadi diambilnya. Ia lantas turun ke bawah dan mendudukkan dirinya dengan nyaman di atas sofa ruang tengah, dengan tangan yang menekan-nekan tombol remote control televisi.

Matanya melirik jam, yang masih menunjukkan pukul setengah enam sore. Ayahnya belum pulang dari kantor, dan ibunya sedang berbelanja di luar.

Seketika sebuah gagasan yang mengerikan muncul di kepalanya, yang membuatnya bergidik pelan.

Besar kemungkinan ayahnya mengenal keluarga Bella. Juga, Kirstan memiliki sebuah ruangan di ujung koridor belakang rumahnya berisikan lemari-lemari yang diatur dengan rapi, sarat akan map-map tebal yang sudah cukup lama tersimpan. Tetapi, dahulu ruangan itu selalu terkunci, dan jika tidak terkunci, maka ayahnya akan berada di dalam ruangan itu, menenggelamkan dirinya di dalam tumpukan-tumpukan kertas yang isinya hanya diketahui oleh Kirstan.

Tayangan di televisi kini tak lagi menarik baginya—yang akhirnya dimatikan olehnya—dan pikirannya mulai bekerja secara sistematis untuk menyusun cara agar bisa memasuki ruangan itu tanpa diketahui kedua orang tuanya.

//\\

"Sean! Mom pulang!" teriak wanita paruh baya itu dari ambang pintu depan.

Lelaki itu beranjak dari sofa empuk yang didudukinya dan segera membantu ibunya yang membawa berbagai macam barang di dalam keranjang belanjaan yang jumlahnya lumayan banyak.

"Thank you," ucap ibunya setelah Sean memindahkan barang belanjaan ibunya dari dalam bagasi mobil yang sudah terparkir rapi di perkarangan rumah.

Sean tersenyum. "Dad belum pulang?" tanyanya seraya melirik jam. Sudah pukul enam kurang sepuluh menit. Rasanya detik demi detik berjalan dengan sangat lambat, dan dirinya sudah tak sabar ingin segera menjalankan rencana yang sudah disusunnya dengan sangat rapi.

Lisla menggeleng. "Mom mau menyusun barang-barang ini dulu, ya," ucapnya, lalu segera berlalu ke dapur di mana barang-barang tadi sudah diletakkan oleh Sean.

Dengan langkah cepat, Sean naik ke lantai dua, dan mengambil ponselnya yang sedari tadi tergeletak di atas ranjangnya. Dia membaca pesan-pesan dengan efisien, dan membalas beberapa yang dianggapnya penting, meskipun sebenarnya tidak begitu, sih.

Saat dia hendak turun, ponselnya bergetar. Di layarnya yang hidup tertera nama Andra dengan jelas, membuatnya mau tak mau harus mengangkat telepon itu.

AtelophobiaWhere stories live. Discover now