Aku Mohon

2.5K 110 1
                                    

"Romi bangun!"

Keysha menangis, menggenggam tangan Romi dengan erat. Bunyi sirine ambulans memekakkan telinga orang-orang yang mendengarnya. Tubuh lelaki itu tidak bergerak, alat bantu pernafasan telah terpasang di hidungnya. Darah segar mengalir di pelipisnya, banyak goresan luka di tubuhnya karena terjatuh di aspal. Keysha shock bukan main ketika Romi terpental begitu saja dari tempatnya berdiri.

"Romi bangunlah!" teriaknya lagi.

Keysha POV

Di luar kaca ini, aku dapat melihat tubuh Romi yang sedang tergeletak di atas kasur ruang ICU rumah sakit ini. Wajahnya yang tampan tertutup dengan segala alat untuk penompang hidupnya. Benturan keras di kepala membuatnya koma. Tidak tau kapan akan terbangun. Dokter mengatakan hanya keajaiban yang dapat membangunkannya.

Hari pertama . . .

"Hei." Sapaku. "Lihat siapa yang datang." Aku membawa kedua orang tua Romi. Aku ingat saat itu Romi meminjam handphone ku untuk menelepon mamanya, dan nomor itu masih tersimpan di riwayat panggilanku. Tidak berfikir panjang aku langsung menghubungi mamanya. Saat mereka mendengar keadaan Romi mereka menangis dan langsung terbang ke kota ini.

"Terimakasih nak sudah menghubungi kami." Mama Romi memelukku saat keluar dari ruangan ICU. "Nama kamu siapa?" tanya papanya.

"Namaku Keysha om." Jawabku sopan.

"Oh Keysha. Romi sering menceritakanmu." Jawab Mama Romi.

Hari Keempat . . .

Diluar sedang hujan lebat di tambah dengan gemuruh petir. Ruangan ICU terasa lebih dingin dari biasanya apalagi badan Keysha sedikit basah terkena hujan saat turun dari metro mini.

"Hari ini dingin banget Rom. Aku bawa syal buat kamu, biar kamu gak kedinginan." Aku memakaikannya syal hangat itu. Syal berwarna cokelat, warna kesukaanku. Tanganku menggapai tangannya, sangat dingin. Aku perhatikan wajahnya, sangat tenang. Aku merindukannya.

Mama Romi masuk ke ruang ICU dan berkata. "Nak, sebaiknya kamu pulang, biar tante dan om yang menjaganya hari ini."

Aku menggeleng. "Aku tidak mau tante. Aku mau disini." Aku tidak mau pulang, aku mau menemaninya, aku harus menunggunya hingga membuka mata untukku.

Hari Ketujuh . . .

"Keysha!" Teriak seorang wanita yang sangat ku kenal.

"Sandra!" Aku menabrak tubuhnya, memeluknya dengan erat, dan menangis.

"Kenapa bisa begini?" Sandra kini sudah berada diruang ICU, menatap Romi yang diam di atas kasurnya selama seminggu itu. Aku hanya diam.

Kami berdua berjalan menuju ke atap rumah sakit. Mencari udara segar pagi itu. Sandra baru bisa datang pada hari ini ketika aku memberitahukan kabar Romi kepadanya.

"Apa yang terjadi?" Sandra penasaran.

"Begini ceritanya ..........................................." Aku menjelaskan persis sama seperti kejadian. "Kau pasti menyalahkanku San. Aku memang salah." Aku menangis. "Ini semua salahku. Seharusnya aku yang berada di posisi Romi sekarang. Untuk kedua kalinya seperti ini. Pertama Romi kakakku, sekarang Romi yang selalu bersamaku."

Sandra hanya diam, dia terduduk mendengar penjelasanku.

"Kalau saat ini kau membenciku silahkan. Aku terlalu bodoh untuk tidak menerima pernyataannya. Aku baru sadar bahwa aku menyayanginya dan kini akulah yang paling menyesal. Aku yang salah." Aku memukul mukul dadaku. Rasanya sangat sakit, seperti ditusuk oleh beberapa pisau. Perih, aku ingin berteriak, aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Aku pun akhirnya hanya terduduk dan menunduk meratapi kebodohanku.

Sandra menyetarakan posisinya dengan ku dan memegang pundakku. "Ini bukan salahmu Key." Dia menangis. "Tuhan punya rencana lain untuknya, ini sudah takdir, dan takdir tidak menyalahkan siapapun." Tambahnya. Aku langsung memeluknya.

Hari kedelapan . . .

Aku berjalan dengan cepat dikoridor rumah sakit menuju keruang ICU. Sandra menghubungiku untuk datang secepat aku bisa kerumah sakit. Aku meminta izin kepada dosen pengajar saat itu untuk keluar. Beruntung saat itu yang mengajar bukan dosen killer.

"Apa yang terjadi?" aku bertanya kepada Sandra yang sedang menangis. Orang tua Romi pun sama mereka menangis. "Sandra! Apa yang terjadi!" aku sedikit berteriak.

"Dokter mengatakan akan melepaskan alat penompang hidupnya Romi. Karena sudah tidak ada harapan lagi baginya Key. Kami tidak berani untuk mengambil keputusan begitu saja tanpa ada kamu disini."

"Tidak!!" aku berteriak keras. "Tidak boleh!"

Aku masuk kedalam ruang ICU, memeluk tubuh dingin Romi, menangis diatas tubuhnya.

"Romi kamu harus bangun! Buktikan kepada mereka Rom bahwa kamu masih punya harapan. Kamu bilang ke aku kalau kamu tidak akan pernah meninggalkanku. Sekarang aku butuh kata-kata itu menjadi kenyataan Rom."

Aku bangun, melihat keluar. Sandra dan kedua orang tua Romi masih menangis disana. Aku kembali melihat Romi, tanganku membelai lembut rambutnya yang sedikit kecokelatan itu. Mendekatkan bibirku ke telinganya dan membisikkannya sesuatu.

"Romi aku tau kau masih disana. Dengarkan aku baik-baik. Kamu harus kuat, kamu harus bangun, buka matamu Rom. Aku disini. Aku sayang kamu. Aku mohon bukalah matamu." Kulihat tidak ada respon darinya.

Aku menangis, berlari menuju ke atap rumah sakit.

"Tuhan!! Jika kau masih bersikeras untuk membawanya, bawalah aku juga. Aku lelah Tuhan, selalu kehilangan orang-orang yang aku sayangi untuk yang kesekian kalinya." Aku berteriak di tepi pagar atap rumah sakit. Sangat tinggi, membuatku mual.

Kalau aku terjatuh apakah aku akan bersama Romi setelahnya. Aku gila, pikiranku tidak jernih. Tapi entah mengapa rasanya aku ingin meloncat dari atap ini, pergi menjauh dari kenyataan yang pahit.

"Keysha!!" Teriak Sandra. "Menjauh dari sana." Dia menarikku yang hampir saja meloncat dari pagar atap rumah sakit. "Apa yang kau lakukan? Kau ingin bunuh diri? Kau bodoh! Sangat bodoh! Sadar Key, apakah ini yang diinginkan Romi."

Aku menangis. "Aku ingin bersama Romi, San. Aku lelah."

Sandra memelukku. "Kalau kau ingin bersama Romi, kau harus hidup Key."

"Kenapa aku harus hidup kalau aku tidak akan bisa melihatnya lagi. Aku sudah cukup melihat nama "ROMI" lain yang tertera di batu nisan, dan tidak akan sanggup untuk melihat nama keduanya tertera disana." Jawabku.

"Romi tidak meninggalkanmu Key."

"Apa maksudmu?" aku melepaskan pelukannya.

Sandra tersenyum. "Dia sudah sadar setelah kamu berlari kesini."

Tanpa basa-basi lagi aku berlari menuju ruang ICU. Setelah jarak pintu ICU sudah dekat aku memperlambat langkahku, aku masih didepan ruangan itu, melihatnya dari kaca. Dia menyadari keberadaanku. Dia tersenyum.

Aku masuk kedalam ruangan ICU, masih berjalan dengan lambat, aku menangis. Romi melebarkan kedua tangannya secara perlahan, aku tau maksudnya dan aku tenggelam dalam pelukannya.

"A..aku sudah bi..bilang kan. Aku bukan Romi yang me..meninggalkanmu." bisiknya.

KeyshaWhere stories live. Discover now