17 - Perihal Ku Ingin Hidup

1K 73 17
                                    

Hari ke empat belas.

Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, dua minggu sudah Rio benar-benar menuruti perintah Dokter untuk menjadi tahanan Rumah sakit. Hampir setiap hari kegiatannya hanya berputar - putar antara kamar rawat, ruang tindakan, kamar terapi, injeksi, dan segala jenis pengobatan yang di upayakan oleh pihak rumah sakit.

Selama dua minggu ini juga, Rio diharuskan melakukan semua treatment tanpa ditemani oleh keluarga dan teman - temannya. kondisinya yang masih rawan membuat Dokter dan staff harus benar-benar memastikan segala keperluan peralatan, ruangan, makanan, dan kebutuhan lainnya tetap steril selama proses radiasi.

Sungguh, dua minggu yang sangat melelahkan. rasanya Ia ingin segera bebas dan menghirup udara segar seperti sebelumnya, Ia ingin merangsek dalam pelukan bunda saat tubuhnya terasa lemas karena sakit, Ia ingin menceritakan banyak hal pada beliau termasuk betapa jahatnya obat - obatan dari dokter yang membuat kepalanya seakan meledak setiap kali treatment dilakukan.

Jelas, menanggung sakit seorang diri bukan hal yang mudah, berkali-kali Ia hampir menyerah selama penanganan, berkali-kali juga Ia nyaris kehilangan pegangan untuk bangun pasca tindakan. Namun, disaat bersamaan harapan dan senyuman orang - orang terdekat kembali membuatnya kuat. Wajah samar mereka dibalik kaca membuatnya sadar sejauh apa Ia akan bangkit. Masih tersisa satu minggu lagi untuk membooster pemulihan dan penguatan otot-otot kakinya seperti sediakala dan selama itu juga segala sesuatunya masih harus dibatasi. jangankan untuk mengobrol, bisa melihat mereka dari dinding kaca saja rasanya sudah lebih dari cukup.

---

Alvin memandang ruang besar yang baru saja menelan tubuh tegap sahabatnya yang baru saja masuk dalam keadaan terbius, netranya terpejam tenang diatas brankar yang di dorong oleh beberapa perawat.

Alvin mendengus tak kentara, dua minggu berlalu begitu cepat dengan penuh kehampaan setiap detiknya karena tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu dan menunggu lagi. Rio selalu dibawa masuk ke dalam ruangan itu dalam keadaan tidak sadar dan keluar dengan kondisi yang sama beberapa jam kemudian. Miris sekali bukan? Untuk bisa melihat sahabatnya membuka mata saja mereka harus menunggu begitu lama, belum lagi si Dokter yang sok tahu itu selalu mengatakan hal-hal menakutkan yang menurutnya hanya buang-buang waktu.

Hoosh...

Hossh...

Hossh...

"Vin... Haaah... hah... Alvin!"

Alvin menoleh begitu mendengar namanya disebut, menatap tak biasa pada si gembul Cakka yang datang dengan nafas terengah.

"Wey! Gu... Gue bilang tunggu, Cakka! Lo gila hah?" Agni menyahut dibelakangnya, tampaknya gadis itu tengah kesal.

Alvin mendecih, "Jangan bilang lo berdua abis maraton dari bassement ke sini kayak orang bego?" ujarnya sakartis seraya menunjuk dua orang di hadapannya gantian.

Cakka terkekeh. "Tahu tuh, Vin. Padahal udah gue bilangin santai aja, tapi doi kagak mau denger, mana lempeng banget lagi larinya," Timpal Agni kesal. bagaimana tidak, sepanjang perjalan dari sekolah ke sini, Cakka terus merapal jika Ia harus bertemu Alvin, Gabriel dan juga Rio secepatnya. meski mereka sama - sama tahu jika salah satu sahabatnya masih dikarantina. mana mungkin mereka bisa bertemu begitu saja?

Alvin menyerngit, "Emangnya kenapa sih? Iyel lagi gue paksa ke kantin sama cewek - cewek soalnya mereka pada belum makan!"

Cakka mengangguk paham. "Nah, lo sendiri? Kagak ngantin? Biar gue jagain dah nih anak."

Alvin menggeleng, "Gue udah nitip Shilla kok. bentar lagi juga mereka balik"

"Oh, Yaudah kalau gitu, Gue tungguin aja deh biar sekalian ntar ceritanya." tutup Cakka seraya beranjak duduk di kursi panjang yang tadi dipakai Alvin seorang diri, menunggu rombongan yang lain agar dia tidak mengulang penjelasan yang sama.

[2] BAHASA RASAWhere stories live. Discover now